Pada masa itu, alat belum secanggih saat ini. Alat pengukuran gempa masih menggunakan alat secara manual, seperti lampu tempel untuk menghitamkan kertas.
Beberapa kali dia juga mengantarkan anggtoa tim ke puncak Gunung Agung. Namun, dia sudah tidak ingat berapa kali mendaki Gunung Agung, karena terlalu sering. Sebelum melakukan pendakian, ia selalu melakukan sembahyang dan tidak pernah menggunakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit sapi saat melakukan pendakian.
"Itu yang saya yakini," ucap Nengah.
(Baca juga: Citra Satelit Tunjukkan Adanya Rekahan di Kawah Gunung Agung)
Pada 1999, Nengah Guna pensiun. Namun, anak laki-laki pertamanya, I Gede Bagiarta, setelah lulus SMK bekerja di pos pengamatan Gunungapi Agung dan kemudian melanjutkan kuliah di Bandung, jurusan Vulkanologi.
"sekarang anak saya bekerja di Bali juga di pos pengamatan gunungapi," kata Nengah Guna.
Selama status Gunung Agung naik menjadi Awas, Nengah Guna sengaja mengajak cucunya untuk ke pos pantau untuk menceritakan kembali kejadian pada 1963.
"Mereka yang muda harus tahu apa yang terjadi saat itu. Paling tidak mereka waspada dan juga memahami kita tidak bisa bermain-main dengan alam," tuturnya.