Salin Artikel

Nengah Guna dan Kisah Pengamatan Gunung Agung Sejak Letusan 1963

Sesekali ia menunjuk ke arah Gunung Agung yang berada di utara dan berbicara serius dengan cucu perempuannya yang duduk di bangku kelas 5 SD.

"Dulu batu sebesar biji salak terlempar dari Gunung Agung sampai di sini. Ada juga abu, tapi aman di wilayah sini," kata Nengah Guna.

Lelaki kelahiran Karangasem 1 Januri 1945 bukan hanya sekedar menjadi saksi dahsyatnya letusan Gunung Agung pada 1963.

Dia juga memliki peran penting pembangunan Pos Pengamatan Gunungapi Agung yang menjadi basis informasi kondisi terbaru dari gunung yang statusnya telah ditetapkan awas sejak Jumat (22/9/2017).

Kepada Kompas.com, Nengah Guna bercerita, setelah Gunung Agung pertama kali meletus pada 19 Februari 1963, tim dari Bandung yang beranggotakan delapan orang datang ke Kecamatan Rendang untuk melakukan pemantauan.

Saat itu Nengah yang masih berusia muda membantu tim tersebut untuk memantau keadaan Gunung Agung. Untuk pertama kalinya mereka membuat pos pengamatan darurat di timur pos pengamatan yang sekarang.

"Dulu posnya di sana pakai tenda di kebun. Belum ada bangunan sama sekali. Di sini dipilih karena bisa melihat langsung Gunung Agung," tutur Nengah, sambil menunjuk lahan kebun di sebelah bangunan utama.

Dia mengantar tim tersebut ke beberapa titik pengamatan untuk memantau kondisi Gunung Agung yang saat itu erupsi. Pada letusan terbesar, dia dan tim berada di pos pantau darurat.

Dia mengaku melihat secara kasat mata apa yang terjadi di puncak Gunung Agung dari tempatnya berdiri.

"Pijaran api terlihat jelas dari pos pantau darurat. Saat itu saya sudah mendapatkan informasi dari anggota tim jika tempat kami aman, jadi tidak perlu khawatir. Hanya saja batu kecil-kecil serta abu terlontar hingga ke sini," ujar Nengah Guna.

Menurut Nengah Guna, anak kecil tersebut ditemukan masih hidup di bawah puing-puing bangunan beberapa hari setelah letusan besar.

"Mungkin keluarganya berpikir anak itu hilang, padahal tidak. Dia kelaparan saat ditemukan," tuturnya.

Selama beberapa bulan ia masih menemani tim tersebut untuk mengukur peta kawasan yang terdampak bencana letusan Gunung Agung. Mereka melalui abu pasir yang tebal dan masih panas.

Pada 1964, pos pantau darurat kemudian dipindahkan ke lokasi yang sekarang, namun dibangun semi permanen dari bambu dan kayu.

Pada 1965, Nengah Guna diangkat sebagai pegawai negeri sipil dan bertugas resmi di pos tersebut.

"Saya hanya lulusan SD tapi saya diajari banyak hal, mulai menghitung gempa dan juga membantu pemetaan pada 1964 sampai 1965. Sekarang jadinya peta yang dipasang di pos," kata dia.

Beberapa kali dia juga mengantarkan anggtoa tim ke puncak Gunung Agung. Namun, dia sudah tidak ingat berapa kali mendaki Gunung Agung, karena terlalu sering. Sebelum melakukan pendakian, ia selalu melakukan sembahyang dan tidak pernah menggunakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit sapi saat melakukan pendakian.

"Itu yang saya yakini," ucap Nengah.

Pada 1999, Nengah Guna pensiun. Namun, anak laki-laki pertamanya, I Gede Bagiarta, setelah lulus SMK bekerja di pos pengamatan Gunungapi Agung dan kemudian melanjutkan kuliah di Bandung, jurusan Vulkanologi.

"sekarang anak saya bekerja di Bali juga di pos pengamatan gunungapi," kata Nengah Guna.

Selama status Gunung Agung naik menjadi Awas, Nengah Guna sengaja mengajak cucunya untuk ke pos pantau untuk menceritakan kembali kejadian pada 1963.

"Mereka yang muda harus tahu apa yang terjadi saat itu. Paling tidak mereka waspada dan juga memahami kita tidak bisa bermain-main dengan alam," tuturnya.

https://regional.kompas.com/read/2017/09/30/18062621/nengah-guna-dan-kisah-pengamatan-gunung-agung-sejak-letusan-1963

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke