Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pengungsi Gunung Agung 1963: Gelap dan Kami Ngungsi Bawa Obor

Kompas.com - 30/09/2017, 07:08 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

KARANGASEM, KOMPAS.com - Sejak status Gunung Agung ditetapkan menjadi awas pada Jumat (22/9/2017), sudah 144.489 jiwa warga yang tinggal di zona merah mengungsi.

Langkah tersebut sebagai bentuk antisipasi karena letusan Gunung Agung pada tahun 1963 pernah memakan korban hingga ratusan jiwa meninggal dunia.

Data Pos Pengamatan Gunungapi Agung mencatat, pada 19 Februari 1963 letusan Gunung Agung pertama kali terjadi. Sekitar pukul 01.00 WITA terlihat asap bergumpal dan masyarakat sudah mulai mencium belerang.

Selama beberapa hari turun hujan abu dan lelehan lava disertai letusan. Itu terlihat pada 21 Februari 1963. Di hari yang sama terlihat awan panas yang meluncur ke arah lereng sebelah timur melewati Tukad Barak dan Tukad Daya.

Pada tangal 17 Maret 1963, terjadi letusan paroksima dan awan letusannya mencapai ketinggian lebih kurang 5 kilometer dan gumpalan asap tebal dan awan panas mengendap di lereng selatan dan utara. Endapan abu letusan bahkan mencapai Pulau Madura.

(Baca juga: Asap Putih Setinggi 500 Meter di Atas Puncak Gunung Agung)

 

Letusan paroksima kembali terjadi pada 16 Mei 1963 dan endapan abu letusan mencapai Pulau Kangean. Kegiatan erupsi Gunung Agung berlangsung hampir setahun sejak 19 Februari 1963 hingga 27 Januari 1964.

Korban yang meninggal akibat awan panas sebanyak 280 jiwa dan yang terluka sebanyak 59 orang. Sedangkan yang meninggal karena piroklastika sebanyak 163 jiwa dan yang terluka sebanyak 201 orang.

Selain itu ada 165 orang yang meninggal akibat lahar panas dan 36 yang terluka. Letusan Gunung Agung pada tahun 1963 terjadi setelah Gunung Agung "tertidur" selama hampir 120 tahun.

Sejarah mencatat, Gunung Agung pernah meletus sebanyak empat kali, yaitu pada 1808, 1821, 1843, dan 1963.

I Gusti Ketut Rai (67), warga yang tinggal di Besakih menceritakan, saat kejadian dia masih berusia 13 tahun. Ia dan keluarganya tinggal di bawah kaki Gunung Agung. Sebelum meletus pertama kali, ia sering mendengar suara seperti piring pecah dari arah Gunung Agung.

Belum lagi, dia menyaksikan banyak binatang hutan turun ke pemukiman serta pepohonan yang ada di sekitar lereng gunung terlihat layu.

"Suara seperti piring pecah itu saya dengar sekitar 3 hari sebelum letusan pertama. Selain itu juga gempa naik turun dan besar sekali," katanya kepada Kompas.com, Jumat (29/9/2017).

Ketika jam 3 dini hari dia dan seluruh warga yang tinggal di Besakih keluar rumah setelah mendengar suara dentuman keras dan melihat ada percikan api dari puncak Gunung Agung.

"Jam 6 pagi saat matahari terbit tidak ada cahaya sama sekali. Gelap dan kami mengungsi membawa obor. Asap hitam. Bumi Hitam. Semua gelap. Penuh dengan abu," kata Ketut Rai.

(Baca juga: Mencari Gunung Agung di Pagi Hari)

Hal senada diceritakan Jero Mangku Suwenten (75). Perempuan yang menjadi pengayah di Pura Besakih sejak tahun 1971 tersebut bercerita, saat Gunung Agung meletus dia berusia 21 tahun.

Dia melihat langsung hujan batu di tempat tinggalnya. Bahkan saat mengungsi, dia dan keluarganya harus melindungi kepala mereka dengan menggunakan alat rumah tangga.

"Ada batu yang sebesar kepala bayi. Dari jauh juga terlihat percikan api. Jika tidak dilindungi kepala bisa luka. Kami berjalan kaki saat mengungsi. Sudah tidak tahu apakah sudah malam atau masih siang. Jalan saja terus. Selama beberapa hari gelap gulita," jelasnya.

Jero Mangku Suwenten dan keluarga kembali ke rumahnya setelah suasana aman. Selama tujuh keturunan, keluarganya menjadi pengayah di Pura Besakih yang berada di radius 6 kilometer dari puncak Gunung Agung.

(Baca juga: Anak Pengungsi Gunung Agung Tetap Bersekolah Meski Tanpa Seragam)

 

Pengayah bertugas untuk mempersiapkan jika ada masyarakat yang bersembayang di Pura Besakih. "Rumah saya di sana. Lihat kan ada rumah-rumah di lereng Gunung Agung. Itu di sana," katanya sambil menujuk arah Gunung Agung.

Saat status Gunung Agung meningkat, dia dijemput oleh keluarganya untuk tinggal di rumah anaknya yang berjarak 12 kilometer dari puncak Gunung Agung.

Ketika cuaca cerah dan Gunung Agung terlihat jelas seperti pada Jumat (29/9/2017), ia mengajak anak dan cucunya ke pos pemantau dan menceritakan peristiwa yang ia alami pada tahun 1963 lalu.

"Sekarang hanya perlu menunggu dengan sabar. Dulu banyak korban karena tidak ada teknologi seperti sekarang. Tiba-tiba meletus saja. Ada pertanda tapi kita tidak menyadari. Saya bilang ke keluarga dan kerabat ikuti kata petugas. Jangan dilanggar mereka yang lebih tahu ilmunya," kata perempuan yang masih terlihat sehat di usianya yang sudah senja.

Dia juga menyakini jika Gunung Agung akan memberikan kebaikan untuk masyarakat Bali. "Sekarang kita kasih kesempatan kepada Gunung Agung untuk sendiri. Saya meyakini Ida Sanghyang Widhi Wasa akan melindungai semuanya," pungkasnya. 

Kompas TV Pemerintah pusat dan daerah berfokus meminimalkan dampak bila erupsi Gunung Agung terjadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com