Mereka diperintahkan Ratu Kidul dan Ratu Ngiyom untuk ngenger (ikut belajar) ke Baginda Mlilir, danyang yang menguasai Bengawan Solo.
"Nah sebelum Sri Parwati dan Jaga Samudra ngenger, disyaratkan dulu membuat Upacara Kebo Ketan," katanya.
Menurut Bram, Upacara Kebo Ketan adalah sebuah karya "seni kejadian berdampak". Seni kejadian berdampak bukanlah suatu event belaka melainkan merupakan suatu revitalisasi atas 'seni upacara' yang diyakini nenek moyang kita sebagai berdampak positif bagi kehidupan.
Upacara Kebo Ketan diciptakan untuk menjawab soal-soal nyata di masyarakat melalui olah seni dan budaya secara luas. Kali ini, soal yang menjadi fokus perhatian LSM Kraton Ngiyom adalah soal mata-air dan hutan, dalam kaitannya dengan soal kohesi sosial dan ekonomi kerakyatan. Kraton Ngiyom adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bekerja di bidang seni kejadian berdampak.
Kini Bram menetap di Ngawi, Jawa Timur, bersama Godeliva D. Sari (isteri) dan Rose Pring Ori (7) puteri semata wayang pasangan ini. Bram hidup sebagai seorang petani dengan lahan seluar 7 hektar yang ditanami tumbuhan organik, seperti padi, jamu-jamuan, dan buah-buahan.
Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan menulis, melukis, membuat pertanian organik, membuat kertas, mengolah batu, belajar bersama anak-anak seperti latihan Bangau Putih.
Konsepnya adalah ilmu tahi menjadi emas. Mengelola barang tak terpakai menjadi barang berguna.
Di luar pekerjaannya sebagai petani, mantan wartawan BBC London itu juga gemar menulis opini dan pemikirannya di media massa ataupun untuk konsumsi pribadi. Bramantyo juga mencintai puisi sejak SMP.
"Saya juga banyak menulis opini di media massa, tentang masalah sosial, politik, dan budaya," kata pria kelahiran 9 Agustus 1965.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan