Jarum jam di tangan saya menunjuk angka 20.38 ketika mobil bergerak dari halaman rumah dinas gubernur, Puri Gedeh, Semarang.
Sabtu malam itu, 6 Agustus, kami (saya, istri, dan anak saya Alam) ditemani sopir dan ajudan berangkat ke Dieng. Melihat waktu, saya perkirakan masih sempat menikmati barang satu dua band di panggung Jazz Atas Awan.
Tapi saya salah...
Saya lupa memprediksi kemacetan di jalan menuju Dieng. Saking bersemangatnya menghadiri Dieng Culture Festival 2016, saya lupa memperhitungkan bahwa ada seratus ribu lebih warga yang juga sama bersemangatnya seperti saya.
Akhirnya, kami yang telah sampai Tieng sekitar pukul 22.30 itu hanya bisa melongo melihat kemacetan panjang yang mengular. Mobil bahkan tidak banyak bergerak hingga satu jam kemudian. Voorijder dengan sirene yang terus menguing-nguing di depan rupanya tak banyak membantu.
Melihat kemacetan dari balik jendela, saya termangu. Manusia memang hanya bisa berencana, Gusti Allah yang menentukan. Saya hopeless. Sirna sudah keinginan menonton jazz, berdingin-dingin, sambil makan jagung bakar.
Saya memang sudah merasakannya tahun lalu. Tapi waktu itu sendirian. Anak istri tidak ikut. Tahun ini saya bertekad mengulang memori itu bersama keluarga. Sayangnya gagal.
Dalam balutan kekecewaan saya berpikir. Seandainya jalan menuju Dieng bisa lebih lebar, tentu kemacetan lebih bisa diminimalisasi. Tapi tidak mungkin. Jalan itu sempit. Terlebih, ada yang kanan dan kirinya jurang.
Pemikiran tentang bagaimana menyediakan infrastruktur pariwisata yang lebih baik sudah muncul sejak pertama kali saya dilantik jadi gubernur.
Saya ingin pariwisata Jawa Tengah maju. Potensi provinsi ini luar biasa dalam bidang pariwisata. Tapi kemarin-kemarin belum ditata dengan baik.
Saya ingin memulainya. Saya ingin mengajak, tidak hanya pemerintah kabupaten kota, tapi juga masyarakatnya. Infrastruktur pariwisata digarap, kultur masyarakat pelaku wisata juga harus lebih baik.
Untuk Dieng, saya telah meminta dibuka jalur lain, terutama dari Batang. Lewat sini, masyarakat dari jalur Pantura lebih mudah mengakses. Selain lebih dekat, juga lebih enak.
Tahun 2016 ini, perbaikan dan peningkatan jalan sudah dikerjakan. Mudah-mudahan tahun depan sudah selesai dan bisa dimanfaatkan. Setidaknya, mampu memecah konsentrasi arus kendaraan menuju Dieng.
Saya bayangkan juga akan menarik jika wisatawan dari arah Wonosobo parkir di area menjelang kawasan wisata kemudian diangkut menuju lokasi dengan kereta gantung. Ada pilihan juga sebagian diangkut menggunakan angkutan feeder.
Ya, banyak rencana dan tentu saja lebih banyak lagi biayanya. Semoga bisa terwujud satu demi satu.
Dan, melamun rupanya membuat saya tertidur. Saya bangun tepat ketika mobil sampai di homestay. Saya lirik jam tangan. Pukul setengah tiga! Berarti dari Tieng ke homestay Acacia di Desa Wisata Dieng Kulon, Batur, Banjarnegara ini butuh waktu empat jam!
Namun tiba-tiba saya yang tadinya kecewa berat karena macet itu berubah jadi bersyukur. Karena berada di tengah-tengah macet itu membuahkan kesadaran bahwa saya harus lebih keras mendorong perbaikan infrastruktur.
***