Salin Artikel

Curhat Guru di Soe NTT: Banyak Murid SMP Tak Bisa Membaca

Tak hanya harus putar otak bekerja dengan fasilitas seadanya, rendahnya kualitas peserta didik juga menjadi pekerjaan berat bagi mereka.

Salah seorang guru matematika di SMP Negeri Teli'u, Kecamatan Amanuban Timur, bernama Julieta Martins (25) bercerita, banyak anak didiknya yang kesulitan membaca.

"Di kelas VII ada 16 murid. Yang bisa baca dengan lancar itu lima orang saja ya. Sekitar 10 orang bisa membaca, tapi masih mengeja cukup lama. Satu murid betul-betul tidak bisa baca," ujar Julieta saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (6/2/2024).

Ia tidak memahami bagaimana anak-anak yang tidak lancar membaca itu bisa melewati sekolah dasar hingga lulus ke SMP.

Hal yang ia beserta guru-guru lainnya dapat lakukan, yakni terus memberikan pendampingan ekstra kepada peserta didik yang tidak bisa membaca di luar jam belajar reguler.

"Saya sempat mengajar anak-anak ini, tapi mereka sulit sekali. Bahkan, ada yang menyerah di kelas IX, lalu keluar, putus sekolah," lanjut dia.

Trifosa S. A Nesimnasi (46) juga mengungkapkan hal senada. Wanita yang sudah 16 tahun menjadi guru IPA di SMP Negeri Oemaman, Kecamatan Kualin itu mengungkapkan, anak didik yang tidak bisa membaca tersebar merata di setiap jenjang.

"Jumlah murid di sekolah kami ada 78 murid. Nah, anak yang tidak bisa baca tulis itu ada di kelas VII, VIII, dan IX," ungkap Trifosa.

Rinciannya, kelas VII sebanyak dua anak, kelas VIII ada tujuh anak, dan kelas IX ada tiga anak.

Demi menyiasati agar anak-anak itu mampu menyerap pelajaran, para guru biasanya mengajari mereka membaca terlebih dahulu dengan sabar sebelum mulai belajar. Materi belajar membaca berkaitan dengan mata pelajaran yang akan diberikan setelahnya.

Guru IPA di SMP Negeri Kie, Kecamatan Kie bernama Defretis Salem (36) menambahkan, kurikulum merdeka yang menjadi acuan pembelajaran tak menyediakan ruang bagi anak didik untuk tidak naik kelas.

Oleh sebab itu, ada murid kelas VII dan IX yang tidak dapat membaca dan menulis.

"Kurikulum sekarang tidak memungkinkan anak yang tidak bisa itu tidak naik kelas. Jadi, meskipun dia sebenarnya tidak memungkinkan, tetap harus naik kelas," ujar Defretis.

Di sekolahnya sendiri, ia tidak tahu persis berapa anak yang tidak bisa membaca. Tetapi, di kelasnya sendiri ada satu orang.

Ketika masih menggunakan kurikulum terdahulu, keadaan tidak jauh berbeda. Justru banyak anak terpaksa berhenti sekolah karena tidak bisa membaca dan tidak naik kelas.

Julieta, Trifosa, dan Defretis pun berharap, peningkatan kualitas anak didik bukan hanya dibebankan kepada guru saja, tetapi juga orangtua di rumah.

"Di sini, kontrol orangtua lemah. Jadi, perkembangan pendidikan anak-anak tidak optimal. Kalau kami para guru, jangan ditanya lagi, pasti usaha terus," ujar Defretis.

Mengutip data BPS NTT, Kabupaten Timor Tengah Selatan masuk ke dalam lima kabupaten di NTT yang tingkat buta hurufnya tertinggi.

Menurut data terbaru 2021, urutan pertama kabupaten yang tingkat buta hurufnya tertinggi, yakni Sumba Barat Daya, disusul Sumba Barat, Malaka, Timor Tengah Selatan, dan Sumba Tengah.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/07/131741478/curhat-guru-di-soe-ntt-banyak-murid-smp-tak-bisa-membaca

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke