Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Pembayaran Sayur dan Buah Jadi Masalah di Freeport?

Kompas.com - 05/10/2013, 06:32 WIB
Kontributor Kompas TV, Alfian Kartono

Penulis

TIMIKA, KOMPAS.com — Kehadiran PT PUM sebagai pemasok utama komoditas lokal (central supplier local commodity) bagi PT Pangan Sari Utama (PSU), kontraktor jasa katering PT Freeport Indonesia (PTFI), mendapat penolakan dari petani lokal di Timika, Kabupaten Mimika.

Ketua Biro Ekonomi, Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa), Thomas Wamang menuding kehadiran PT PUM yang didirikan oleh bekas karyawan PT PSU adalah upaya untuk memonopoli suplai komoditas yang dihasilkan petani lokal seperti sayur mayur dan buah.

“Ini permainan perusahaan untuk memaksa petani menjual hasil bumi melalui perusahaan perantara dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Bayangkan, harga petatas (ubi jalar) yang dijual Rp 50.000 hingga Rp 60.000 per tumpuk di pasar, oleh perusahaan hanya dihargai Rp 3.000 per kilogram. Bagaimana petani bisa hidup?” ungkap Thomas.

Thomas yang sehari-hari bekerja sebagai Kepala Koperasi Jasa Usaha Bersama, yang mengumpulkan hasil sayur mayur petani lokal, menduga kehadiran PT PUM akan menggantikan peran Koperasi Sarima selaku pemasok utama komoditas sayur mayur dan buah bagi PT PSU.

Menurut Thomas, keberadaan perusahaan pengumpul perlu ditinjau ulang karena merugikan petani, dan perlu dicermati pergantian Koperasi Sarima yang saat ini masih menunggak pembayaran sayur mayur petani lokal senilai kurang lebih Rp 60 miliar.

“Setelah menghitung total tagihan dari sejumlah koperasi pemasok sayur mayur di Timika, ada sekitar Rp 60 miliar lebih yang belum terbayar. Ada apa ini? Katanya tambang emas Freeport beromzet hingga miliaran dollar, tapi mereka makan dari utang sayur dan buah ke petani lokal?” kata Thomas yang ditemui di Kantor KJUB di Jalan Yos Sudarso Timika, Kamis (3/10/2013) lalu.

Aksi spontan
Dugaan adanya permainan yang dilakukan oknum PT PSU, menurut Thomas, terlihat saat mereka menolak keberadaan PT PUM. Penolakan itu direspons perusahaan dengan tidak mengirim mobil boks untuk mengambil hasil petani yang terkumpul di koperasi.

“Bersama sejumlah pengurus koperasi, kami langsung mengantar sendiri ke warehouse PT PSU di Kuala Kencana. Tapi rombongan kami ditahan oleh sekuriti PTFI di Gerbang Kuala Kencana dan mobil terpaksa harus kembali ke Timika,” urainya.

Dijelaskan Thomas, dalam aksi spontan pada Kamis pagi, sempat diadakan pertemuan di Kantor Freeport Office Building 1 (OB-1) di Kuala Kencana. “Kami sempat mempertanyakan posisi petani lokal yang tergabung di sejumlah koperasi pengumpul dan keberadaan perusahaan yang mengklaim sebagai pemasok utama, tapi tidak mampu dijelaskan oleh pihak PSU dan PT Freeport Indonesia,” ungkapnya.

Tak menemukan solusi, Thomas bersama pengurus koperasi kemudian mengadukan kejadian ini ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika.

Dijelaskan Thomas, sejak dilakukan pergantian pengelola tambang dari Freeport McMoran ke PT Freeport Indonesia muncul banyak permasalahan. Contohnya, saat masih dikelola McMoran, koperasi petani bisa langsung memasok sayur mayur dan buah hasil petani lokal ke perusahaan tanpa harus melalui perusahaan perantara, dan pembayarannya pun lancar.

Menurut dia, kondisi itu kini jauh berubah ketika berganti menjadi PT Freeport Indonesia dan pengelolaan katering diserahkan kepada PT PSU selaku kontraktor. Para petani harus melalui perusahaan atau koperasi perantara yang mematok harga murah dan membayar bertahap.

“Dulu warga kampung Kwamki Baru bisa menyelesaikan permasalahan ekonomi dengan bertani. Masyarakat bisa membangun rumah, menyekolahkan anak, bahkan kami sempat membuat gudang sendiri. Tapi sekarang masyarakat menjadi putus asa karena pembayaran hasil pertanian harus tertunggak,” kata dia lagi.

Tak hanya menuai penolakan petani, kehadiran PT PUM juga mendapat penolakan dari dua lembaga adat yang di Kabupaten Mimika, yakni Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) dan Lembaga Masyarakat Adat Kamoro (Lemasko).

Dalam pernyataan bersama yang ditandatangani oleh Tom Beanal selaku Torei Negel (pemimpin tertinggi) Lemasa dan Dominicus Mitoro selaku Wakil Ketua Lemasko meminta kepada PT PUM untuk menghentikan kegiatan operasional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com