KOMPAS.com - Warga di Desa Woloede dan Loadaolo di bawah kaki Gunung Berapi Ebulobo, Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, NTT, sama sekali tidak diperhatikan pemerintah. Ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Hingga usia kemerdekaan Indonesia mencapai angka 78, warga di dua desa itu belum menikmati akses jalan yang memadai.
Jalan sepanjang kurang lebih 8 kilometer yang menghubungkan kedua desa serta desa lain seperti Desa Mulakoli hanya dipenuhi batu lepas.
Baca juga: Gunung Api Ebulobo, Wisata Pendakian di Nagekeo NTT yang Digemari Turis
Ada sebagain ruas jalan sudah cukup baik dengan menggunakan rabat yang sudah lama dikerjakan warga, namun agak licin ketika dilewati akibat tingginya kelemababan dan curah hujan.
Akses jalan ini membuat warga serasa naik kuda walaupun menggunakan kendaraan bermotor atau angkutan umum.
Sebagian warga harus turun sejenak untuk membantu menarik kendaraan angkutan umum ketika hendak pulang dari pasar di kota kecamatan.
Padahal, wilayah itu merupakan daerah penghasil komoditi seperti cengkeh, pala, kelapa, pisang, vanili, dan masih banyak lainnya.
Yoseph Mola, tokoh masyrakat Desa Woloede, mengatakan sudah 7 bupati sejak desa itu masih menjadi wilayah Kabupaten Ngada, akses jalan tidak diperhatikan sama sekali oleh pemerintah daerah.
“Setiap pemilihan DPRD mereka datang ke sini tetap kami minta untuk bangun jalan tapi sampai hari ini sudah 7 bupati jalan rusak terus bahkan semakin parah."
Baca juga: Menjelajahi Lembah Sawu di Bawah Kaki Gunung Api Ebulobo di Flores (2)
"Mereka hanya janji, tapi hilang terus hingga hari ini,” ungkap Yoseph saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/6/2023) pagi.
Ia mengaku, akses jalan yang tidak memadai membuat harga komoditi ditekan serendah mungkin oleh para pengepul dan tengkulak.
“Seperti harga pala, di pasaran bisa mencapai Rp 175 ribu, tetapi wilayah itu hanya Rp 80 ribu. Begitupun harga cengkeh yang hanya menjadi Rp 50-an per kilogramnya. Padahal di pasaran harga tembus Rp 100-an lebih."
"Itu tadi, akses jalan jadi kendala ekonomi warga di sini sulit meningkat,” ujarnya.
Ia membeberkan, warga di bawah kaki Gunung Ebulobo banyak yang merantau ke luar pulau seperti Malaysia dan Kalimatan sebagai buruh di perkebunan sawit.
Padahal produksi tanaman seperti cengkeh sekitar 4 desa di bawah kaki Gunung Ebulobo bisa mencapai 40-50 ton sekali musim panen dan produksi pala bisa mencapai 200 ton.