FLORES TIMUR, KOMPAS.com - Hari masih gelap, waktu baru menunjukkan pukul 05.30 Wita. Suasana Desa Klatanlo, Hokeng Jaya, dan Nawokote di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sunyi.
Pintu dan jendela rumah warga tertutup rapat. Terlihat beberapa bola lampu masih menyala di teras rumah.
Rumah-rumah itu ada yang ditinggal pemilik sementara waktu lantaran harus mengungsi akibat erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Baca juga: Sejumlah Pengungsi Erupsi Gunung Lewotobi Kembali ke Rumah meski Berbahaya
Tiga desa tersebut terpaut jarak 4-5 kilometer dari pusat gunung setinggi 1.485 meter dari permukaan laut (mdpl).
Tak berselang lama, seorang pria berpostur kekar melintas dengan sepeda motor.
Ia kemudian mengarahkan motornya ke halaman rumah tembok bercat putih di Kampung Baru, Dusun Wolorona, Desa Hokeng Jaya. Ia lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
"Saya baru pulang dari kamp pengungsian. Anak dan istri saya di sana," ucap pria bernama Yustinus Sura (45) itu saat ditemui Kompas.com, Rabu (17/1/2024) pagi.
Baca juga: Gunung Lewotobi Diguncang 108 Kali Gempa Letusan dalam Sehari
Yustin, sapaannya, menuturkan, sudah sepekan ia bersama istri menetap di kamp pengungsian di SMP Negeri 1 Wulanggitang, Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang.
Setiap hari ia harus bolak-balik kamp pengungsian untuk memastikan keadaan rumah dan ternak peliharaannya.
Meski begitu, selalu ada perasaan cemas dan takut. Ditambah lagi suasana kampung yang sunyi serta suara gemuruh dari puncak gunung Lewotobi Laki-laki tak kunjung berhenti.
Yustin sempat berencana mengungsi ke rumah keluarga di Kabupaten Sikka. Hanya saja, rasanya sulit, apalagi istrinya seorang guru Sekolah Dasar (SD).
"Istrinya saya setiap hari di kamp pengungsian dampingi anak-anak korban erupsi. Kalau kami mau mengungsi ke luar wilayah rasanya sulit," ucapnya.