KOMPAS.com - Jika mendengar istilah warung tegal atau biasa disingkat sebagai warteg, sudah pasti akan terbayang warung makan dengan jajaran lauk dengan menu rumahan yang disusun dalam etalase kaca.
Selain bisa bebas memilih lauk sesuai keinginan, warteg juga identik dengan harga makanan yang murah serta porsi sajian yang besar sehingga cukup mengenyangkan.
Baca juga: Modal Awal Buka Bisnis Franchise Warteg Selera Bahari
Kepopuleran warteg memang sudah tersohor, tak hanya di ibu kota namun kini juga sudah merambah ke berbagai daerah di Indonesia.
Bahkan saat ini usaha warteg tengah naik daun dan merambah ke model bisnis waralaba (franchise).
Menarik untuk disimak, berikut ulasan sejarah kemunculan warteg yang seakan tidak gentar dan terus bertahan melewati pandemi hingga menghadapi kondisi ekonomi dan harga pangan yang tidak menentu.
Baca juga: Franchise Warteg Dapat KUR Rp 1 Miliar, Berapa Maksimal Plafon KUR?
Dilansir dari Kompas.com (25/10/2018), kemunculan warung tegal atau warteg diketahui bermula di Jakarta pada sekitar tahun 1950, saat terjadi perpindahan ibu kota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta.
Kembalinya ibu kota ini dibarengi dengan terjadinya arus urbanisasi, di mana penduduk di Jawa Tengah banyak yang bermigrasi ke Jakarta.
Baca juga: Tertarik Berbisnis Warteg Kekinian? Begini Cara Memulainya dari Nol
“Sebenarnya fenomena warteg ini muncul ketika ibu kota Indonesia dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta pada tahun 1950. Pada saat itu banyak masalah dan bentrok. Lalu terjadi urbanisasi, orang-orang dari Jawa Tengah ini pindah ke Jakarta karena banyak pembangunan di Kebayoran Baru,” kata sejarawan, JJ Rizal ketika dihubungi KompasTravel, Kamis (25/10/2018).
Hal ini juga tidak terlepas dengan usaha pembangunan juga dilakukan oleh Soekarno, untuk mengubah dari Jakarta sebagai kota kolonial ke kota nasional.
“Dilanjutkan dengan pembangunan Jakarta dari ibu kota kolonial ke kota nasional. Misalnya pembangunan Monas, Jembatan Semanggi, Tugu Pembebasan Irian, akses pelebaran jalan Thamrin,” lanjutnya.
Berbarengan dengan proses pembangunan inilah, muncul kebutuhan dari para tukang yaitu tempat untuk membeli makanan yang cepat, mudah, dan murah.
Banyak proyek besar dan dengan tempat-tempat yang berbeda membuat mulai muncul warung-warung yang mayoritas pedagangnya berasal dari Tegal.
“Waktu itu warung-warung ini diisi oleh orang-orang Tegal, nah ini jadi warteg ini sebagai penanda karena yang berjualan orang Tegal jadi sampai sekarang dikenal seperti itu. Waktu itu juga banyak fenomena seperti ini, tukang cukur dari Garut makanya dikenal bahwa tukang cukur identik dengan Garut. Ini karena banyaknya suatu etnis yang melakukan pekerjaan tersebut,” jelas Rizal.
Sejarawan Fadly Rahman juga menjelaskan bahwa mayoritas orang Tegal yang merantau saat itu adalah pekerja kasar yang berprofesi sebagai kuli bangunan.
Mereka yang melakukan urbanisasi kemudian turut membawa serta istri dan keluarga ke Jakarta.