Awalnya makanan yang dijual di warteg hanya membidik kalangan blue collar atau pekerja yang tak punya keterampilan khusus.
“Waktu itu, mereka bawa serta istri kemudian istri-istri ini jual makanan. Awalnya memang untuk kalangan blue collar yah, yang ekonomi ke bawah. Lalu kemudian warteg ini meluas persebarannya,” kata Fadly ketika dihubungi KompasTravel Rabu (24/10/2018).
Dilansir dari Kompas.com (17/9/2022), Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Agnes Setyowati menjelaskan bahwa warteg sangat mudah dikenali karena memiliki ciri khas tersendiri dari segi bagunan.
Sebuah kedai warteg rata-rata berukuran 15-20 meter dan bercat biru yang menyimbolkan laut, karena Kota Tegal yang menjadi kampung halaman mereka merupakan daerah pesisir pantai.
Secara filosofis, warteg juga memiliki banyak makna simbolis terkait dengan tata letak di dalam kedainya.
Budayawan asal Tegal Yono Daryono mengatakan bahwa keberadaan dua pintu di sisi kanan dan kiri bangunan yang menjadi ciri khas warteg ternyata memiliki arti tertentu.
Penempatan pintu tersebut menjadi mengandung makna banyak rejeki karena dinilai efektif untuk mencegah antrean panjang pembeli.
Terlebih bangunan warteg yang tidak terlalu luas membuat pemanfaatan lahan yang kecil sangat diperhatikan agar pembeli dapat keluar masuk warteg tanpa harus berdesakkan.
Tidak hanya itu, penggunaan lemari kaca sebagai tempat penyajian lauk yang ditawarkan juga bertujuan memudahkan pembeli ketika memilih makanan tanpa harus berpindah tempat yang berpotensi mengganggu pembeli lainnya.
Kemudian penggunaan bangku panjang untuk pengunjung yang ingin makan di tempat dapat diartikan sebagai simbol kesetaraan (equality).
Pembeli yang datang dari berbagai kalangan dan kelas sosial dapat saling berbincang-bincang sambil menyantap hidangan warteg di bangku tersebut.
Dilansir dari laman sonora.id, filosofi juga terkandung dalam penggunaan kata “bahari” pada penamaan warteg yang dipilih oleh pemiliknya.
Ternyata hal ini juga terkait dengan Kota Tegal yang memiliki julukan sebagai Kota Bahari.
Pada awalnya, warteg yang ada di Jakarta dikelola oleh masyarakat yang berasal dari tiga desa, yaitu Desa Sidapurna, Sidakaton, dan Krandon yang terletak di Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal.
Namun usaha itu kemudian berkembang menjadi bisnis kuliner lokal yang tersebar baik di dalam hingga di luar pulau Jawa.