Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
Wadan Kodiklatad

Wakil Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan Angkatan Darat

Sampah Kota sebagai Industri Tanpa TPA

Kompas.com - 02/03/2023, 16:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK beberapa dekade terakhir, persoalan pengelolaan sampah menjadi isu strategis pada level internasional. Indikator SDGs dari World Bank menempatkan sampah sebagai salah satu alat ukur.

Hukum alamnya, selagi ada manusia, maka sampah pasti selalu ada. Logikanya juga semakin maju peradaban manusia, pengelolaan sampah harusnya makin maju, bukan statis.

Tahun 2001, Pemerintah Jerman memulai terobosan baru. Mereka melakukan proses Close Cycle Management, sebuah sistem yang bertujuan mengubah pengelolaan limbah menjadi sumber daya.

Program ini mencatat keberhasilan sehingga sampah dapat menjadi sumber bahan mentah dan energi yang berguna.

Diklaim 14 persen bahan baku industri di Jerman berasal dari limbah daur ulang. Omset tahunan proyek ini mencapai 40 miliar euro (Nelles et al., 2016).

Jepang juga terbilang sukses dalam pengolahan sampah dengan pemanfaatan teknologi insinerator canggih. Basisnya adalah metode 3 R (reduce, reuse, recyle).

Jepang juga begitu ketat dalam mendorong kedisiplinan warganya untuk mengelola sampah (Defitri, 2022). Keberhasilan negara-negara ini bisa juga dilihat dari beberapa negara lain seperti Swedia dan Korea Selatan.

Jika dilihat pada keberhasilan negara tersebut, kunci terpenting dalam urusan sampah adalah inovasi dan teknologi.

Sampah tidak dianggap barang buangan yang tak berguna, justru bisa jadi sumber pendapatan yang menggiurkan. Sampah punya nilai ekonomis.

Pada sisi inilah, bentukan ekonomi sirkular dari pengelolaan sampah memiliki kekuatan yang optimal dalam perspektif ekonomi lingkungan.

Warga terlibat, secara sadar dan terintegrasi untuk membangun mekanisme sirkularitas pengelolaan sampah, khususnya perkotaan (municipal solid waste, MSW).

Inovasi pengelolaan memberi jalan pada masyarakat untuk terlibat. Peranan alat dan teknologi yang inovatif memberi kemudahan, sekaligus peluang, untuk mengatasi persoalan sampah melalui pengelolaan yang bersifat ekonomi sirkuler.

Belajar dari Jepang, bisa dilihat bahwa teknologi insinerator (yang di Indonesia masih menjadi pro kontra karena kadar racun gas buang), ternyata bisa efektif. Teknologi ini terus disempurnakan dan akhirnya jadi tulang punggung pengelolaan sampah.

Swedia juga demikian, di mana kebijakan Waste to Energy (WTE) bisa sangat potensial (Defitri, 2022). Ada kenyamanan dan ada keuntungan secara ekonomis.

Untuk Indonesia sendiri seperti apa? Sampai sekarang masih belum menemukan titik temu yang pas dan bisa diterapkan secara nasional.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com