GORONTALO KOMPAS.com – Wau nonggo Dudamu, Turusi demintigiya, Ino wunggato no tamu, Sambe piya no haleniya (Saya dari desa Dudamu, Terus ke sana, kita kedatangan tamu, yang sangat baik hatinya). Wagu yio motabiu, Tuo mayi otihiu, Wagu yio moponuu, Tuo mayi otayuu (Kalau kau sayang padaku, Duduklah di sampingku, Kalau kau rindu padaku, Duduklah di depanku).
Dendang nyanyian berbahasa Suwawa ini bergema di belakang rumah dekat kandang ayam milik Muhtar Hikaya, yang akrab dipanggil Pak Riko, petani tua warga Desa Bondawuna Suwawa Selatan Kabupaten Bone Bolango.
Bersama istrinya, Pak Riko terus berdendang bersahut-sahutan syair dengan iringan gambus (alat musik petik khas Gorontalo).
Baca juga: Guru Agama dan Guru Bahasa Daerah Dipastikan Masuk Formasi Seleksi PPPK Jateng Mendatang
Angin bertiup membawa uap air dari Sungai Bone memberi kesejukan sore, menyemangati alunan vokal beriring petikan gambusi tua milik Pak Riko.
Di belakang rumah ini legedo dinyanyikan, suara lengking Pak Riko dan istrinya terbawa hingga ke punggungan bukit belakang rumah, pepohonan yang rimbun ini seakan dininabobokan oleh lamat-lamat suara legedo, pas dengan suasana sore yang terasa lebih cepat menghilang, matahari bersembunyi dalam-dalam di belakang bukit sebelum benar-benar senja berakhir.
Bagi telinga warga Gorontalo, syair ini tidak terlalu jelas maknanya meskipun langgamnya sangat familiar. Memang demikian, karena syair yang dilantunkan pasangan ini adalah Bahasa Suwawa, sebuah Bahasa lokal di Gorontalo yang dituturkan penduduk di beberapa kecamatan di Kabupaten Bone Bolango.
Bahasa Suwawa atau biasa disebut bahasa Bone Daa (biasa orang menyingkatnya dengan istilah Bonda) kian hari semakin terpinggirkan, penuturnya kebanyakan hanya kalangan kaum tua di daerah tertentu.
Dari generasi ke generasi kosa kata Bahasa Suwawa yang dikuasai masyarakat semakin menurun, diperkirakan bahasa ini hanya bisa bertahan pada 3 generasi ke depan, setelah itu akan semakin menghilang.
Para pelantun legedo semakin sulit ditemukan, seiring semakin sepinya panggung-panggung hajatan yang mengundang pada pelaku seni tradisi di Kabupaten Bone Bolango.
Legedo telah kalah popular dengan pertunjukan organ tunggal yang marak di hampir semua panggung hajatan warga.
Legedo adalah sastra lisan pantun yang menggunakan Bahasa Suwawa, disajikan oleh satu atau dua orang. Jika sajian oleh dua orang, maka syair legedo ini dalam bentuk pantun berbalas.
Baca juga: Penonton Kecewa Festival Tunas Bahasa Ibu Dihentikan, Polisi: Kita Sesuai Ketentuan Waktu
Pada pertunjukan di desa-desa, para pelantun syair legedo sangat kreatif merangkai kata yang memiliki rima.
Kemampuan ini juga yang akan menentukan lama pertunjukan, jika keduanya mampu terus-menerus menjawab pantun lawan mainnya, maka pertunjukan legedo akan berlangsung lama. Di sinilah kemampuan para pemain legedo diuji, termasuk membuat gelak tawa para penonton.
Pak Riko adalah petani sederhana yang mengelola ladang bersama istrinya untuk menghidupi keluarganya. Ia bukan artis yang sering diminta mengisi acara-acara dan menerima sejumlah bayaran.
“Kami hanya petani saja, kadang-kadang bermain legedo di teras rumah sambal memetik gembusi,” kata Pak Riko.
Baca juga: Saat Bahasa Sunda Menggema di Berlinale Film Festival...
Naluri dan semangat berkesenian ini membuat ia lebih tampak muda dari para petani umumnya, selalu tersenyum dan ramah kepada tetamunya. Ramah kepada tamu atau bahkan orang asing sekalipun ini merupakan ciri khas masyarakat Gorontalo pada umumnya. Tak segan-segan menyuguhkan kopi panas, kacang atau pisang.
Legedo tumbuh dan hidup dari ruang sosial seperti ini bertahun-tahun, tidak diketahui sejak kapan sastra lisan ini muncul. Namun di masa senja bahasa Suwawa, legedo turut memberi warna dalam upaya konservasi bahasa ini.
Dalam bentang alam masyarakat yang berbahasa Suwawa, bukit, lembah, dataran, sungai, hutan dan gunung menjadi tempat hidup seluruh warga. Budaya agraris menjadi warna hidup keseharian, mereka mengakrabi lingkungan sekitar dan mengenalnya dengan baik.