Tidak banyak warga yang menggunakan bahasa suwawa, hanya beberapa kecamatan, terutama di Kecamatan Pinogu, Suwawa Timur, Suwawa Tengah, Suwawa Selatan, juga di pesisir selatan Bone Bolango.
Biasanya warga yang bisa berbahasa Suwawa juga mengerti bahasa Gorontalo, namun sebaliknya orang yang lancar berbahasa Gorontalo tidak tahu bahasa Suwawa. Kedua bahasa ini masih berkerabat dekat.
Syair-syair pantun legedo ini juga tidak lepas dari aktivitas sehari-hari warganya, termasuk bahan candaan yang sangat menghibur, juga kisah percintaan kaum muda desa.
Pak Riko tidak sendiri, ada juga Ponang Mantulangi petani warga Desa Tapadaa, Kecamatan Suwawa Tengah. Di tengah kesakitan kakinya akibat asam urat ia tetap mendendangkan legedo di rumahnya.
Ponang beberapa kali dipanggil untuk mengisi acara hiburan di hajatan pernikahan atau lainnya di sekitar desanya.
Ia lebih bebas untuk memilih ke mana ia pergi karena tidak terlalu terikat pada ladangnya.
Jika ada waktu senggang, ia datang ke rumah Pak Riko untuk sama-sama berdendang di teras rumah yang luas.
Saat mereka berbalas syair, tetangga Pak Riko akan segera berkumpul menikmati alunan ini. Mereka bahkan menari dengan iringan musik dan syair legedo. Legedo menyatukan kebahagiaan petani di sudut desa ini.
Suasana guyub selalu muncul saat legedo dilantunkan, para petani yang sepanjang siang bekerja di ladang akan berkumpul, bersenda gurau saat menjelang malam. Legedo menjadi sarana ekspresi kebahagiaan mereka.
“Biar saja orang lain ribut dengan tambang emas atau batu hitam, kami akan terus berdendang,” ujar Ponang Manulangi terkekeh sambal mengisap tembakau lintingnya.
Baca juga: Video Viral Penghulu Kesulitan Menikahkan Pasangan Tunawicara karena Tak Paham Bahasa Isyarat
Ponang memang petani bersahaja, ia memang tidak menghiraukan hiruk pikuk aktivitas penambangan di
daerahnya. Banyak warga desa yang terpincut pada emas yang berada di dalam perut bumi Suwawa, bahkan yang terbaru ditemukan batu hitam yang lebih mudah didapat dan memiliki harga menggiurkan.
Hal yang sama juga dialami Kak Nani, pria langsing ini lebih mahir memainkan gambusi sambil mendendangkan syair-syair legedo. Tidak hanya pengaturan rimanya yang enak didengar telinga, namun juga gaya membawakannya lebih atraktif. Goyang tubuhnya seperti menerjemahkan isi pantun yang disajikan, juga ekspresinya yang enak untuk dilihat.
Kak Nani lebih muda usianya dari Pak Riko atau Pak Ponang, faktor ini mungkin yang menjadikan Kak Nani lebih atraktif dalam menyuguhkan legedo di masyarakat.
Hubungan dan kepekaan sosial para pelantun legedo ini sangat menentukan daya tarik penyajiannya, isu dan tema sosial yang hangat di masyarakat akan lebih menarik dari pada cerita lama yang terus diulang.
“Syair legedo paling pas itu terkait keseharian masyarakat, masalah sehari-hari yang dihadapi petani. Pada saat kami nyanyikan biasanya warga sangat senang, karena itu bagian dari keseharian mereka,” ujar Kak Nani.
Tidak semua petani di Suwawa dapat dengan mudah menikmati legedo, hanya orang-orang yang biasa dengan para pelantun ini saja yang acap menyaksikannya di sekitar rumah atau jika ada yang meminta mengisi acara hiburan di hajatan pernikahan atau lainnya.
Pada masa senja bahasa Suwawa, legedo pun menghadapi hal serupa, pelan-pelan akan punah dimakan zaman.
Sastra lisan ini diperkirakan akan lebih dulu menghilang secara perlahan seiring menurunnya penutur bahasa Suwawa.
Pak Riko dan Monang Mantulangi yang hanya lulusan sekolah dasar ini juga tidak kuasa menghadapi nasib tragis legedo ini. Mereka pasrah menerima keadaan, juga bersyukur telah mewarnai seni tradisi sastra lisan di Provinsi Gorontalo.