Menghadapi masalah ini, Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo berusaha mengkonservasi sastra lisan ini melalui program peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelindungan bahasa dan sastra daerah, salah satunya adalah legedo.
“Tahun ini kami memprogramkan pelindungan sastra lisan Suwawa dalam bentuk revitalisasi sastra lisan legedo,” kata Armiati Rasyid, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Jumat (30/12/2022).
Setahun ini kantor Bahasa intensif melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk mengimplementasikan model pelindungannya. Kerja sama dilakukan dengan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango untuk mendorong inisiasi kegiatan konservasi dan muatan lokal Bahasa dan sastra Suwawa.
Para staf kantor Bahasa harus mencari para pelantun legedo ke pelosok-pelosok desa di beberapa kecamatan. Upaya ini tidak serta merta langsung membuahkan hasil sesuai keinginan.
“Terkadang kami harus menunggu di suatu titik pada jam tertentu, karena jalan sudah tidak bisa dilalui kendaraan. Pelaku legedo akan turun dari perbukitan yang rumahnya berada di balik beberapa bukit,” kata Dodi Probowibowo
pengkaji bahasa dan sastra kelompok kepakaran dan layanan profesional pelindungan Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo.
Pekerjaan konservasi sastra lisan ini membutuhkan tekat dan ketekunan tersendiri. Tantangan di lapangan memberi pelajaran yang indah, bagaimana legedo hidup di habitat penutur bahasa suwawa.
Temuan-temuan menarik lainnya adalah, para pelantun ini tidak hanya mendendangkan sastra lisan ini sebagai bentuk kecintaannya, mereka bahkan harus membuat sendiri alat musiknya agar bisa digunakan saat menyajikan legedo.
Gambusi biasa dibuat dari kayu nangka atau kayu lainnya, tidak ada toko yang menjual alat musik. Biasanya pesan kepada pengrajin, namun keberadaan pengrajin ini bisa dihitung dengan jari. Kondisi seperti yang menjadi tantangan tersendiri bagi upaya revitalisasi legedo di Gorontalo.
Untuk membangkitkan kembali legedo ini, kantor bahasa juga melakukan pelatihan revitalisasi dengan melatih 25 orang yang diharapkan mampu menjadi pelaku seni tradisi ini. Pada pelatihan ini juga tercipta 50 syair legedo yang siap dilantunkan.
Program pelindungan sastra lisan legedo ini melibatkan para ahli dengan menggandeng para peneliti sastra lisan dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo. Hasil-hasil kajian yang selama ini dilakukan para dosen ini dijadikan energi kebangkitan legedo di masa-masa akhir bahasa suwawa yang terus kehilangan penuturnya.
“Setelah itu kami menggelar festival legedo, para peserta pelatihan ini harus menampilkan kemampuannya pada panggung pertunjukan di hadapan banyak orang,” ujar Armiati Rasyid.
Temaram senja di Desa Bondawuna selalu datang lebih cepat, bukit dan pepohonan yang menjadi benteng alam lebih dulu menghalangi sinar matahari sore, sebelum sang surya benar-benar tenggelam di balik cakrawala. Suara serangga lebih dulu mengiringi keteduhan senja, mengantar para petani istirahat di rumah setelah menghabiskan siang di ladang.
Sayup-sayup terdengar alunan gambusi beriring syair legedo, yang berkisah tentang kepahitan hidup para petani.
Topo gugata nopingga, wambiniya lala-lango, dono hota mayi tingga, tiya dopinolango (sementara mencuci piring, ikan sementara dibakar, di waktu (saat) matahari sudah tinggi, perut sudah terasa lapar).
Wateya osaba-sabari, wanao wambuo nganga, dono pudu’o’u mayi, turusi ode wongganga (saya bersabar, anak selalu menangis, kemudian saya gendong, lalu saya naikkan kebuaian).
Kehidupan para petani selalu menarik, terutama yang mengisahkan tragedi.. Legedo menjadi sarana kisah ini meski telah banyak yang meninggalkannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.