JAYAPURA, KOMPAS.com - Kampung Kokonao di Distrik Mimika Barat, Kabupaten Mimika, Papua, merupakan salah satu pusat pendidikan di Bumi Cenderawasih pada periode 1928-1960-an.
Anak-anak dari daerah pegunungan di Papua, seperti Paniai, Dogiay, Deiyai, Intan Jaya, dan wilayah pegunungan Mimika, datang ke Kokonao untuk melanjutkan pendidikan formal.
Mereka datang untuk mengenyam pendidikan di Bescaving School (Sekolah Peradaban) yang dibuka Pastor J Aerts dan Pastor F Kowatzki bersama dua guru, Benediktus Renyaan dan Christianus Rettob.
Bescaving School merupakan sekolah formal pertama yang dibuka di Kokonao.
Para orangtua di pedalaman Papua biasanya mengantarkan anaknya yang telah memasuki usia sekolah ke Kokonao. Hal itu dilakukan setelah para orangtua disuruh pastor dan guru misionaris yang bertugas di daerah mereka.
Anak-anak yang berasal dari Paniai dan Deiyai biasanya diantar menggunakan pesawat milik Belanda. Mereka mendarat di Danau Paniai karena belum ada bandara saat itu.
Sedangkan anak-anak dari Mapia dan Moanemani diantar orangtuanya dengan berjalan kaki ke Kokonao. Sekali atau dua kali setahun, para orangtua akan mengunjungi anaknya yang bersekolah di Kokonao.
Ketua Anak Cucu Guru Perintis Kabupaten Mimika Petrus Yanwarin mengatakan, Kokonao menjadi salah satu pusat pendidikan di Papua yang menerapkan pola kehidupan asrama.
Baca juga: Kisah Sekolah di Perbatasan Indonesia-Papua Nugini, Hanya Punya 3 Kelas dan 2 Guru
Tak heran pola asrama yang diterapkan ini berhasil mendidik anak-anak Papua yang datang dan sekolah di Kokonao.
Menurut Petrus, guru-guru didatangkan oleh misi Katolik dari Langgur Key ke Kokonao sejak 1928. Mereka memiliki tugas utama untuk mendidik anak Papua yang datang menempuh pendidikan di Kokonao.
“Saat datang ke Kokonao bapak guru dari Key ini bersama pastor membuat asrama seadanya. Pembuatan asrama ini dibantu oleh masyarakat yang ada di Kokonao,” kata Petrus saat berbincang beberapa waktu lalu.
Petrus mengatakan, asrama yang dibuat itu awalnya dibuat untuk anak-anak guru perintis yang ditugaskan di wilayah Mimika, mulai dari Kokonao di Mimika Barat hingga Mimika Timur dan wilayah pegunungan seperti Meepago, Moni, dan Amungme.
Asrama itu dibuat untuk anak-anak mereka agar bisa tinggal dan menetap di Kokonao. Kelamaan, asrama yang dibuat untuk anak-anak guru perintis ini diubah untuk bisa menampung anak-anak Papua dari berbagai daerah yang bersekolah di Kokonao.
“Anak-anak yang masuk dan tinggal di asrama untuk sekolah tentunya tidak sembarang, tetapi diseleksi dari setiap kampung. Yang dianggap memiliki kemampuan dan siap untuk sekolah dan dibina barulah dimasukkan ke asrama untuk sekolah di Kokonao,” kata pria yang lahir besar di Mimika ini.
Petrus merasakan pendidikan berpola asrama selama menempuh pendidikan di Kokonao. Ia merasakan pendidikan Kokonao dulu berbeda dengan saat ini. Meski makan di asrama pada waktu itu tidak seenak seperti saat ini.
“Kami di asrama hanya makan sagu lepeng, sagu sinole, pisang dan ada juga nasi. Itu pun kami makan sambil belajar di Kokonao. Memang makan seadanya, tetapi dari pola pembinaan yang kami rasakan selama ini Kokonao berbeda seperti saat ini,” ungkapnya.