Salin Artikel

Kampung Kokonao, Jejak Pendidikan di Papua (Bagian 2)

Anak-anak dari daerah pegunungan di Papua, seperti Paniai, Dogiay, Deiyai, Intan Jaya, dan wilayah pegunungan Mimika, datang ke Kokonao untuk melanjutkan pendidikan formal.

Mereka datang untuk mengenyam pendidikan di Bescaving School (Sekolah Peradaban) yang dibuka Pastor J Aerts dan Pastor F Kowatzki bersama dua guru, Benediktus Renyaan dan Christianus Rettob.

Bescaving School merupakan sekolah formal pertama yang dibuka di Kokonao.

Para orangtua di pedalaman Papua biasanya mengantarkan anaknya yang telah memasuki usia sekolah ke Kokonao. Hal itu dilakukan setelah para orangtua disuruh pastor dan guru misionaris yang bertugas di daerah mereka.

Anak-anak yang berasal dari Paniai dan Deiyai biasanya diantar menggunakan pesawat milik Belanda. Mereka mendarat di Danau Paniai karena belum ada bandara saat itu.

Sedangkan anak-anak dari Mapia dan Moanemani diantar orangtuanya dengan berjalan kaki ke Kokonao. Sekali atau dua kali setahun, para orangtua akan mengunjungi anaknya yang bersekolah di Kokonao.

Ketua Anak Cucu Guru Perintis Kabupaten Mimika Petrus Yanwarin mengatakan, Kokonao menjadi salah satu pusat pendidikan di Papua yang menerapkan pola kehidupan asrama.

Tak heran pola asrama yang diterapkan ini berhasil mendidik anak-anak Papua yang datang dan sekolah di Kokonao.

Menurut Petrus, guru-guru didatangkan oleh misi Katolik dari Langgur Key ke Kokonao sejak 1928. Mereka memiliki tugas utama untuk mendidik anak Papua yang datang menempuh pendidikan di Kokonao.

“Saat datang ke Kokonao bapak guru dari Key ini bersama pastor membuat asrama seadanya. Pembuatan asrama ini dibantu oleh masyarakat yang ada di Kokonao,” kata Petrus saat berbincang beberapa waktu lalu.

Petrus mengatakan, asrama yang dibuat itu awalnya dibuat untuk anak-anak guru perintis yang ditugaskan di wilayah Mimika, mulai dari Kokonao di Mimika Barat hingga Mimika Timur dan wilayah pegunungan seperti Meepago, Moni, dan Amungme.

Asrama itu dibuat untuk anak-anak mereka agar bisa tinggal dan menetap di Kokonao. Kelamaan, asrama yang dibuat untuk anak-anak guru perintis ini diubah untuk bisa menampung anak-anak Papua dari berbagai daerah yang bersekolah di Kokonao.

“Anak-anak yang masuk dan tinggal di asrama untuk sekolah tentunya tidak sembarang, tetapi diseleksi dari setiap kampung. Yang dianggap memiliki kemampuan dan siap untuk sekolah dan dibina barulah dimasukkan ke asrama untuk sekolah di Kokonao,” kata pria yang lahir besar di Mimika ini.

Petrus merasakan pendidikan berpola asrama selama menempuh pendidikan di Kokonao. Ia merasakan pendidikan Kokonao dulu berbeda dengan saat ini. Meski makan di asrama pada waktu itu tidak seenak seperti saat ini.

“Kami di asrama hanya makan sagu lepeng, sagu sinole, pisang dan ada juga nasi. Itu pun kami makan sambil belajar di Kokonao. Memang makan seadanya, tetapi dari pola pembinaan yang kami rasakan selama ini Kokonao berbeda seperti saat ini,” ungkapnya.

Kini, fasilitas pendidikan Kokonao terbilang lengkap. Jurnalis Kompas.com berkesempatan mengunjungi langsung Kampung Kokonao dan melihat secara dekat pendidikan di kota tua tersebut.

Tak heran, Kokonao disebut sebagai salah satu kampung peradaban pendidikan di Bumi Cenderawasih. Terdapat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Bintang Laut Kokonao yang dikelola oleh Gereja Katolik Paroki Bintang Laut Kokonao.

Lalu, SD Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik (YPPK) Santo Fransiskus Xaverius Kaokanao-Mimika Barat, SMP YPPK Lecocq D’armandville Kaokanao-Mimika Barat, dan SMA Negeri 3 Mimika.

Selain sekolah, terdapat juga sekolah berpola asrama di Kokonao. Terdapat dua gedung asrama bagi putra yang diberi nama Asrama Putra BIntang Kejora di kampung tersebut.

Sementara asrama khusus putri bernama Asrama Putri Bintang Kejora Kokonao-Mimika Barat yang berada di dalam perkampungan. 

Gedung sekolah yang dibangun para misionaris dan guru-guru pertama bersama masyarakat di Kampung Kokonao telah termakan usia. Bangunan itu dibangun kembali oleh PT Freeport Indonesia melalui Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro.

Gedung sekolah dan asrama putra dan putri yang ada di Kokonao saat ini telah direnovasi oleh PT Freeport Indonesia melalui YPMAK sebagai bentuk proteksi terhadap pengembangan sumber daya manusia (SDM) melalui pembangunan sarana dan prasarana sekolah.

Pemerhati pendidikan di Papua, Emanuel Petege mengatakan, Kokonau sejak dulu melahirkan guru-guru asli dari Mimika. Para guru itu menjadi perintis dan pionir bagi wilayah pegunungan Papua.

Anak-anak asli Mimika banyak menjadi guru penginjil dan guru sekolah bagi wilayah pegunungan di Meepago, Lapago, Domberai dan Bomberai. Mereka mengabdi tanpa mengeluh dan bertahan dengan keadaan apa adanya di kampung.

Namun, kata pria yang akrab disapa Eman itu, semangat pengabdian itu kini telah hilang. Apalagi, setelah pusat pemerintahan dibuka di Mimika.

Setelah ada PT Freeport, masyarakat Amungme di Lembah dan Gunung Sinai, Bantu, Alabawa, dan Jinai, kebanyakan dipindahkan ke Kwamki Lama. Mereka dibuatkan permukiman di wilayah itu.

Lalu, pemerintah mendatangkan masyarakat dari Pulau Jawa yang ikut program Transmigrasi. Pelan-pelan, Timika menjadi kota besar dan ramai.

Hal ini membuat semangat pendidikan yang dirintis oleh misionaris di wilayah Kokonao dan sekitarnya yang ada di Kabupaten Mimika sudah mulai terkikis dan sudah mulai hilang satu per satu. 

“Anak-anak Mimika (Kamoro) juga kita lihat hanya satu dua orang saja yang tampil, tetapi tidak semuanya mereka berhasil seperti dahulu kala saat pusat pendidikan masih di Kokonao,” beber Eman.

“Kemunduran pendidikan di Papua, khususnya Kokonao lantaran banyak bantuan luar negeri yang diberhentikan hingga saat ini. Meskipun ada dana Otonomi Khusus (Otsus), tetapi tidak berjalan maksimal seperti adanya dana dari luar negeri dahulu,” ujarnya.

Sementara itu, selaku pensiunan guru di Mimika, Petrus Yanwarin mengungkapkan, kemunduran pendidikan di Kokonao dan wilayah lainnya di Mimika karena adanya persaingan antara sekolah swasta dan sekolah negeri.

Ia mencontohkan sekolah dari Yayasan Katolik yang sudah ada di Mimika sejak 1928. Namun, di kampung-kampung justru dibangun sekolah negeri milik pemerintah.

“Seharusnya sekolah Yayasan yang ada bisa diperkuat oleh pemerintah dengan memberikan support berupa dana. Bukan justru mendirikan sekolah pemerintah yang justru membuat persaingan. Hal inilah yang membuat kemunduran pendidikan di Papua,” ujarnya.

Selain munculnya sekolah negeri, guru-guru pegawai negeri sipil yang sebelumnya mengjar di sekolah swasta ditarik kembali. Mereka kini mengajar di sekolah negeri.

“Saya kira hal inilah yang harus dipikirkan oleh pemerintah dan pihak Yayasan, sehingga pendidikan di Papua, khususnya di wilayah Mimika bisa kembali berkembang dan berjasa seperti dahulu. Terutama sekolah pendidikan di Kokonao,” jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2022/06/10/103500378/kampung-kokonao-jejak-pendidikan-di-papua-bagian-2-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke