NUNUKAN, KOMPAS.com – Musibah banjir tahunan yang selalu melanda wilayah Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung, dan Kecamatan Sembakung Atulai di Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, menjadi permasalahan yang belum ada solusi.
Banjir yang disinyalir kiriman dari Malaysia tersebut mengakibatkan kerugian tidak sedikit setiap tahunnya.
Kebun, ternak dan sawah warga di perbatasan RI–Malaysia ini tersapu banjir, dan bantuan Pemerintah Daerah dari Dana Belanja Tak Terduga harus dialokasikan untuk banjir yang terus-menerus terjadi.
Baca juga: Sejumlah Pesisir Lampung Berpotensi Terdampak Banjir Rob, Masyarakat Diminta Waspada
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Nunukan, Arief Budiman mengatakan, setelah sepekan tergenang banjir, kondisi air sudah berangsur surut.
"Hari ini air sudah mulai surut, paling hanya menyisakan Desa Tagul dengan sekitar 140-an KK yang masih tergenang. Desa Tagul memang berada paling hilir dan daerah dengan dampak terparah setiap terjadi banjir," ujarnya, Senin (30/5/2022).
Arief mengakui, musibah tahunan ini menjadi pemikiran mendalam dari Pemerintah Daerah Nunukan.
Terlebih, pokok masalah banjir tidak bisa diselesaikan di tingkat daerah, karena melibatkan hulu sungai milik Malaysia. Sehingga kehadiran Negara, selalu dinantikan.
Arief menegaskan, solusi paling masuk akal untuk masalah ini, salah satunya adalah relokasi. Hanya saja, langkah ini sempat terkendala dengan penolakan warga.
Baca juga: Ahli Sayangkan Hasil Investigasi Banjir Rob Pantura yang Berbeda-beda
"Warga selalu menolak relokasi, karena mereka beralasan bahwa sungai adalah tempat mereka mencari nafkah. Selain itu, siklus banjir biasanya terjadi cukup lama, dalam hitungan tahun," jelasnya.
Belakangan, banjir justru terjadi kian intens. Yang tadinya banjir dengan debit air tinggi bisa dihitung sekian tahun sekali.
Saat ini bahkan dengan interval waktu yang belum setengah tahun, sudah terjadi tiga kali banjir.
"Alasan itulah kemudian membuat masyarakat berubah pikiran. Mereka capek menanam padi, membuat kolam ikan, selalu tersapu banjir. Akhirnya mayoritas korban sudah mau direlokasi," kata Arief.
Setiap BPBD datang, lanjutnya, selalu ditekankan bahwa relokasi bukan berarti menghilangkan hak warga untuk kepemilikan lahan di bantaran sungai.
Justru dengan relokasi, mereka mendapat lahan dan bangunan baru tanpa takut banjir yang datang sewaktu waktu.
Baca juga: BMKG Peringatkan Potensi Banjir Rob, Warga Pesisir Padang dan Pesisir Selatan Diminta Waspada
"Apalagi dengan potensi banyaknya burung walet di daerah tersebut, rumah rumah di bantaran sungai justru bisa menghasilkan rupiah jika dijadikan sarang walet setelah mereka menempati rumah di lahan relokasi nantinya," imbuhnya.