KOMPAS.com - Seekor orangutan sumatera (Pongo abelii) yang diberi nama Paguh dievakuasi dari sebuah perkebunan kelapa sawit di Desa Gampong Teungoh, Kecamatan Trumon, Aceh Selatan, pada Rabu (20/11/2019), oleh tim The Human-Orangutan Conflict Response Unit (HOCRU) bersama tim dari BKSDA Aceh.
Saat dievekuasi, Paguh dalam kondisi terluka dan kedua matanya buta diduga akibat tembakan senapan angin.
Kejadian terhadap Paguh ini bukan yang pertama. Dokter hewan Citrakasih Nente Supervisor Program Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan YEL-SOCP mengatakan, dia pernah menerima orangutan dengan 100 butir lebih peluru di tubuh orangutan malang itu bernama Hope.
Sepanjang sepuluh tahun terakhir, YEL-SOCP sudah menerima sekira 20 orangutan korban senapan angin.
Berikut fakta selengkapnya:
Kepala Balai KSDA Aceh Agus Arianto mengatakan, Paguh dievakuasi di kawasan Desa Gampong, Kecamatan Trumon Aceh Selatan, pada Rabu (20/11/2019), oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh melalui tim SKW II Subulussalam bersama YOSL-OIC dan masyarakat.
Saat dievakuasi, sambung Agus, orangutan tersebut dalam kondisi terluka dan kedua matanya buta diduga akibat tembakan senapan angin, orangutan itu diketahui berjenis kelamin jantan, diperkirakan telah berusia 25 tahun.
“Untuk mendapatkan penanganan medis, sejak Kamis (21/11/2019) orangutan itu telah dibawa ke Stasiun Karantina Orangutan Batu Mbelin Sibolangit,” katanya dalam rilis yang diterima Kompas.com, Rabu (27/11/2019).
Baca juga: Derita Orangutan Paguh, Mata Buta Kena Tembakan Senapan Angin, Ada 24 Peluru di Tubuh
Pendiri Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), Panut Hadisiswoyo menjelaskan, lokasi tersebut berdekatan dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang menjadi habitat orangutan sumatera di wilayah Aceh Selatan.
Kawasan tersebut, katanya, menjadi habitat lebih dari 1.300 orangutan sumatera.
"Ada beberapa tempat yang terjadi deforestasi, pembukaan lahan perkebunan sehingga beberapa orangutan terdesak harus keluar dari habitat alaminya, sehingga tersesat di dalam kebun," katanya.
Selanjutnya, terjadilah banyak interaksi dengan manusia. Menurut dia, istilah konflik sedikit radikal karena sebenarnya orangutan kehilangan habitatnya mendapatkan interaksi yang sangat frontal.
"Sehingga ada beberapa masyarakat yang melihatnya sebagai hama dan satwa menakutkan, tidak ada toleransi," katanya.
Baca juga: Kisah Tragis Orangutan: 24 Peluru di Badan dan Coba Bertahan Hidup dengan Kebutaan