Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Alam Wangsakerta, dari Desa Membangun Indonesia...

Kompas.com - 27/11/2018, 15:54 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


CIREBON, KOMPAS.com Ibu,

Andaikan dunia ini penuh dengan air mataku

Itu belum bisa menggantikan sakitmu melahirkan aku

Kau sungguh mulia Ibu

Bait puisi itu membuat Aisyah, gadis berusia 16 tahun menangis. Dia terpaksa menghentikan bacaan puisinya di hadapan banyak orang, hingga seorang guru memeluk dan menenangkannya.

Aisyah kembali membaca dan menuntaskan pementasannya.

Bait lagu “Ibuku Sayang” yang dijadikan puisi itu dibacakan Aisyah, seorang gadis Blok Karang Dawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, yang putus sekolah.

Dia membacakan puisi itu dihadapan rekannya yang juga bernasib sama; anak-anak desa yang putus sekolah.

Hari itu, Rabu (14/11/2018), mereka berkumpul dalam acara “Dari Desa Membangun Indonesia”, yang digagas Sekolah Alam Wangsakerta.

Acara itu merupakan hari istimewa bagi mereka, sebuah hari yang tak mereka pikirkan sebelumnya. Mereka merayakan usia satu tahun pendidikan Sekolah Alam Wangsakerta dengan membuka lapak hasil karya, berupa suvenir, olahan makanan alam, dan juga sejumlah bibit tamanan yang mereka rawat.

Baca juga: Pesan dari Sekolah Alam, Budayakan Memilah Sampah Sejak Usia Dini

“Lumayan repot. Beberapa hari nyiapin acara, pokoknya full time. Tapi enak di sini. Banyak kasih sayang dari teman-teman sama guru-guru, Bu Fatimah, Bu Farida, Bu Siska, Pak Wakhit, dan lainnya,” Kata Aisyah.

Mereka tampak riang gembira mengikuti acara sejak pagi hingga malam. Kebahagiaan itu tak datang begitu saja.

Aisyah kembali semangat bersekolah saat bergabung dengan Sekolah Alam Wangsakerta. Menurut dia, guru di sekolah sederhana ini, mendidik dan membimbing, layaknya orangtua.

Berbeda dengan sekolah Aisyah sebelumnya. Dia menyebut guru sekolahnya sebelumnya banyak menyuruh menulis, namun jarang menjelaskan, hanya di duduk kantor.

Aisyah adalah putri kedua dari tiga bersaudara pasangan Ilman dan Tisni. Mereka berlima hidup dalam kesederhanaan.

Kondisi Ilman yang terserang penyakit saraf parkinson membuatnya tak lagi dapat membecak. Sementara Tisni, hanya ibu rumah tangga. Kakak pertama Aisyah kerja buruh serabutan.

“Awalnya kata bapak jangan sekolah lagi. Sana kerja saja. Aisyah keluar sekolah. Enggak izin sama guru tiga bulan kerja di Sumber. Awalnya katanya kerja chicken (ayam), tapi tahunya nugget, kaya pabrik gitu. Di sana Aisyah dimarah-marahin terus soalnya paling kecil sendiri 15 tahun. Lainnya usia 20 tahun ke atas. Aisyah disuruh-suruh terus,” ungkap dia.

Pengalaman itu membuatnya gadis itu kaget tentang dunia kerja. Aisyah memutuskan tidak ingin kembali kerja dan menyelesaikan sekolahnya di Sekolah Alam Wangsakerta.

“Aisyah mau sekolah di sini. Nanti kalau lulus, Aisyah mau kuliah seperti Pak Wakhit,” harapnya dengan mata berkaca.

Nasib sama juga dialami Misjani remaja usia 15 tahun. Bahkan, remaja yang dikenal periang ini putus sekolah sejak kelas 3 Sekolah Dasar. Lingkungan membuatnya putus sekolah.

Menurut Misjani, hal ini lumrah dan banyak terjadi pada rekan seusianya di desanya. “Tadinya keasikan bermain sama teman-teman. Sering pulang. Jadinya enggak semangat sekolah, dan keluar,” ungkap dia.

Putra keenam dari tujuh bersaudara pasangan Samirah dan Kadi kembali menemukan semangatnya satu tahun lalu, yakni pada saat dia bersama sekitar 20 rekannya yang putus sekolah mengenal Sekolah Alam Wangsakerta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com