MALANG, KOMPAS.com – Masyarakat Suku Tengger Lereng Gunung Bromo di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan membudidayakan bunga edelweis, Jumat (8/6/2018).
Budidaya bunga edelweis itu untuk memenuhi kebutuhan upacara adat. Apalagi bagi Suku Tengger, bunga keabadian memiliki arti penting.
Karenanya, bunga berwarna putih yang biasa disebut Tana Layu dalam bahasa sansakerta yang artinya tidak layu itu harus ada dalam setiap upacara adat.
Sementara itu, Suku Tengger memiliki sejumlah upacara adat yang dilaksanakan dalam waktu tertentu.
Baca juga: Jokowi, Bungkus Mi Instan, dan Bunga Edelweis
Di antaranya, upacara karo dan yadnya kasada yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Selain itu juga ada ritual unan-unan, setiap lima tahun sekali.
Ada juga upacara entas–entas atau ngaben yang dilaksanakan perorangan untuk menghormati para leluhurnya.
Kemudian upacara liwet–liwet, upacara barikan yang dilaksanakan setiap satu bulan sekali dan upacara pamujan atau pemujaan yang dilaksanakan empat bulan sekali.
Dengan demikian, kebutuhan masyarakat Suku Tengger terhadap bunga edelweis cukup banyak.
Budidaya edelweis dimulai sejak 2014 setelah tahun 2013 sempat mengalami kegagalan.
Budidaya ini dilakukan warga Suku Tengger yang tergabung dalam Komunitas Bala Daun. Mereka memanfaatkan benih bunga edelweis sisa upacara adat untuk disemai kemudian dilakukan pembibitan.
"Sumber benih awalnya diambil dari sekitaran taman nasional untuk kebutuhan adat. Pada saat ada kebutuhan adat, ada yang tumbuh di situ. Kita biarkan besar, terus kami ambil benihnya," kata Ketua Komunitas Bala Daun, Kariadi.
Baca juga: 3 Bukit dan Padang Edelweis, Tempat di Bali Ini Asyik Buat Foto-foto
Pria berusia 45 tahun itu mengatakan, tidak mudah membudidayakan edelweis.
Sebab, edelweis bisa tumbuh normal di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut (Mdpl). Sementara Kecamatan Tosari berada di ketinggian 1.700 meter dari permukaan laut.
"Dari 1.000 batang yang ditanam. Yang hidup hanya 300," katanya.