Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Untuk Kebutuhan Adat, Masyarakat Suku Tengger Budidaya Edelweis

Kompas.com - 08/06/2018, 21:56 WIB
Andi Hartik,
Reni Susanti

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com – Masyarakat Suku Tengger Lereng Gunung Bromo di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan membudidayakan bunga edelweis, Jumat (8/6/2018).

Budidaya bunga edelweis itu untuk memenuhi kebutuhan upacara adat. Apalagi bagi Suku Tengger, bunga keabadian memiliki arti penting.

Karenanya, bunga berwarna putih yang biasa disebut Tana Layu dalam bahasa sansakerta yang artinya tidak layu itu harus ada dalam setiap upacara adat.

Sementara itu, Suku Tengger memiliki sejumlah upacara adat yang dilaksanakan dalam waktu tertentu.

Baca juga: Jokowi, Bungkus Mi Instan, dan Bunga Edelweis

 

Di antaranya, upacara karo dan yadnya kasada yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali. Selain itu juga ada ritual unan-unan, setiap lima tahun sekali.

Ada juga upacara entas–entas atau ngaben yang dilaksanakan perorangan untuk menghormati para leluhurnya. 

Kemudian upacara liwet–liwet, upacara barikan yang dilaksanakan setiap satu bulan sekali dan upacara pamujan atau pemujaan yang dilaksanakan empat bulan sekali.

Dengan demikian, kebutuhan masyarakat Suku Tengger terhadap bunga edelweis cukup banyak.

Masyarakat Suku Tengger lereng Gunung Bromo di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, membudidayakan bunga edelweis, Jumat (8/6/2018). Mereka membudidayakan bunga keabadian itu untuk keperluan upacara adat karena populasi bunga yang statusnya dilindungi itu terus menyusut seiring dengan pengambilan secara liar.KOMPAS.com/ANDI HARTIK Masyarakat Suku Tengger lereng Gunung Bromo di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, membudidayakan bunga edelweis, Jumat (8/6/2018). Mereka membudidayakan bunga keabadian itu untuk keperluan upacara adat karena populasi bunga yang statusnya dilindungi itu terus menyusut seiring dengan pengambilan secara liar.
Namun selama ini, Suku Tengger masih mengambil bunga edelweis dari dalam hutan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Padahal, edelweis merupakan bunga yang statusnya dilindungi.

Budidaya edelweis dimulai sejak 2014 setelah tahun 2013 sempat mengalami kegagalan.

Budidaya ini dilakukan warga Suku Tengger yang tergabung dalam Komunitas Bala Daun. Mereka memanfaatkan benih bunga edelweis sisa upacara adat untuk disemai kemudian dilakukan pembibitan.

"Sumber benih awalnya diambil dari sekitaran taman nasional untuk kebutuhan adat. Pada saat ada kebutuhan adat, ada yang tumbuh di situ. Kita biarkan besar, terus kami ambil benihnya," kata Ketua Komunitas Bala Daun, Kariadi.

Baca juga: 3 Bukit dan Padang Edelweis, Tempat di Bali Ini Asyik Buat Foto-foto

Pria berusia 45 tahun itu mengatakan, tidak mudah membudidayakan edelweis.

Sebab, edelweis bisa tumbuh normal di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut (Mdpl). Sementara Kecamatan Tosari berada di ketinggian 1.700 meter dari permukaan laut.


"Dari 1.000 batang yang ditanam. Yang hidup hanya 300," katanya.

Bunga edelweis yang dibudidayakan oleh masyarakat Suku Tengger lereng Gunung Bromo di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jumat (8/6/2018). Mereka membudidayakan bunga keabadian itu untuk keperluan upacara adat karena populasi bunga yang statusnya dilindungi itu terus menyusut seiring dengan pengambilan secara liar.KOMPAS.com/ANDI HARTIK Bunga edelweis yang dibudidayakan oleh masyarakat Suku Tengger lereng Gunung Bromo di Dusun Wonomerto, Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jumat (8/6/2018). Mereka membudidayakan bunga keabadian itu untuk keperluan upacara adat karena populasi bunga yang statusnya dilindungi itu terus menyusut seiring dengan pengambilan secara liar.
Awalnya, benih bunga edelweis disemai selama satu bulan. Kemudian masuk pada masa pembibitan selama tiga bulan.

Setelah itu, batang bunga edelweis ditanam di sejumlah lahan yang kosong. Seperti di pekarangan rumah warga, di sepanjang jalan desa dan di tanah adat.

Lalu pada usia satu atau dua tahun, tanaman edelweis akan berbunga. Saat ini sudah sekitar 500 tanaman edelweis hasil budidaya warga tersebut.

Sementara itu, setiap bibit bunga edelweis yang ditanam disertai dengan barcode. Hal itu untuk mengetahui jenis tanaman, usia, dan letak penanamannya.

Semua orang bisa melihat data tentang tanaman itu melalui barcode yang disertakan di setiap batang.

Yayasan Satu Daun, salah satu lembaga yang fokus pada lingkungan hidup menilai, budidaya edelweis sangat dibutuhkan Suku Tengger karena merupakan kebutuhan upacara adat.

"Kita harus memiliki komunitas yang mau membudidayakan ini. Karena edelweis ini merupakan tanaman yang dibutuhkan untuk upacara adat," ungkap Ketua Yayasan Satu Daun, Diono.

Bala Daun merupakan komunitas yang ada di bawah pembinaan Yayasan Satu Daun. Salah satu lembaga yang fokus pada isu lingkungan dan konservasi.

Kompas TV Pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru pun membuat jalur alternatif yang hanya bisa dilalui sepeda motor dan pejalan kaki.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com