Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikecam Langkah Jaksa Hentikan Penanganan Dugaan Korupsi Dana Bansos Gubernur NTT

Kompas.com - 29/11/2014, 10:16 WIB
Kontributor Kupang, Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.COM - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengecam sikap Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT, Gaspar Kase, yang  menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi dana BANSOS tahun anggaran 2010-2011 di Pemprov NTT. Penghentian itu menyusul terbitnya surat BPK Perwakilan NTT Nomor 245/S/XIX.KUP/10/2014 tanggal 28 Oktober 2014 tentang Penyampaian Hasil Pemantauan Penyelesaian TLHP Khusus Bansos NTT tahun 2010-2011.

Menurut TPDI, sikap Gaspar Kase menantang arus partisipasi masyarakat NTT dalam pemberantasan korupsi. Sikap itu juga memberikan angin segar bagi sebagian pejabat Provinsi NTT untuk berkolaborasi dengan semua kekuatan penegak hukum, termasuk BPK NTT untuk saling melindungi dan menghapus jejak korupsi yang akut di provinsi itu.

“Penjelasan Aspidsus Kejaksaan Tinggi NTT Gaspar Kase SH sebagaimana dikutip harian Timor Expres tanggal 13 November 2014, yang terpaksa menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi dana Bansos di NTT jelas menantang arus partisipasi masyarakat NTT dalam pemberantasan korupsi. Ini sesungguhnya tantangan bagi Presiden Jokowi, Jaksa Agung dan Kajati NTT John Marsinton Purba dalam membenahi kinerja Kejaksaan di NTT,” kata koordinator TPDI, Petrus Selestinus, kepada Kompas.com, Jumat (28/11/2014) malam.

Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK NTT tahun anggaran 2010, pengelolaan keuangan negara di bawah kepemimpinan Gubernur Frans Lebu Raya dan Wakil Gubernur Esthon Foenay amburadul.  Berdasarkan hasil temuan itu, Koalisi Masyarakat untuk Indonesia Transparan (KOMITs) dan Forum Komunikasi Pemuda dan Mahasiswa NTT (FKPM NTT) kemudian melaporkan Gubernur Frans Lebu Raya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Kedua lembaga itu menduga ada penyimpangan dana senilai Rp 15 miliar. Dugaan penyelewengan dana itu beberapa di antaranya untuk menyewa pesawat ke Kabupaten Flores Timur sebesar Rp 27,9 juta, sewa pesawat ke Rote Ndao dan Sumba Timur Rp 46 juta, dan sewa helikopter ke Kabupaten TTU Rp 14 juta. Dana Bansos juga ditengarai dimanfaatkan untuk perjalanan dinas ke Jerman sebesar Rp 166,4 juta dan China Rp 27,2 juta.

Selain itu, transaksi keuangan menggunakan dana Bansos sebesar Rp 607,3 juta tidak sesuai peruntukannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan total kerugian negara dana Bansos Provinsi NTT pada tahun 2010 sebesar Rp 27,5 miliar dengan 3.277 kasus. Akan tetapi, per 31 Desember 2010 telah ditindaklanjuti atau diatasi Pemprov NTT sebanyak 1.761 kasus dengan nilai Rp 12,6 miliar. Sedangkan yang belum ditindaklanjuti sebanyak 1.516 kasus dengan nilai total Rp 15,5 miliar.

Menurut Selestinus, sikap Gaspar yang menghentikan kasus itu, bisa ditafsirkan telah menjerumuskan Kajati NTT, John Marsinton Purba, yang baru satu bulan menjabat.  Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Kejaksaan RI, kata dia, tidak mengenal penghentian penanganan kasus korupsi hanya atas dasar sebuah tembusan surat kepala BPK. Karena itu, Kajati NTT harus melihat terlebih dahulu anatomi perilaku korupsi di NTT yang selama ini sudah sampai pada tingkatkan saling menyendera dan saling melindungi diantara petinggi.

“Dalam kasus dugaan korupsi dana Bansos NTT tersebut, TPDI pernah mensinyalir BPK NTT telah diperalat Gubernur NTT Frans Leburaya untuk bermain di wilayah rekomendasi LHP yang meskipun temuan penyimpangannya mencengangkan akan tetapi rekomendasinya kok loyo?,” kata Selestinus.

Gaspar Kase, kata dia, seharusnya menempatkan Gubernur NTT dan Pihak BPK NTT sebagai subyek yang patut diduga berada dalam mata rantai saling melindungi dalam tindak pidana korupsi dana Bansos.  Selestinus mengingatkan, selama ini BPK NTT sangat minim prestasi dalam mengaudit pengelolaan keuangan Pemerintah Provinsi NTT sehingga belum pernah mengungkap korupsi di level atas seperti gubernur, bupati, walikota dan pimpinan DPRD.

Langkah Gaspar itu, kata Selestinus, telah menampar wajah rakyat kecil penerima dana Bansos NTT, sekaligus membunuh partisipasi publik dalam memberikan informasi tentang kejadian tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh pejabat publik di NTT.

“Menghentikan penanganan sebuah kasus mega korupsi yang sedang ditangani dan belum memasuki tahap penyelidikan dan penyidikan hanya atas dasar tembusan surat BPK NTT kepada gubernur yang ditujukan kepada Kajati NTT, tanpa suatu penyelidikan proyustisia yang mendalam terhadap kemungkinan terjadi hubungan KKN baru yang terjadi antara oknum BPK NTT dengan oknum Pejabat Pemprov NTT, sulit diterima akal sehat siapapun,” kata Selestinus.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com