Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cermin Bening Singkawang

Kompas.com - 22/02/2015, 12:11 WIB

KOMPAS.com - Etnis Tionghoa di Singkawang, Kalimantan Barat, menjadi bagian dari keluarga besar Nusantara. Kedekatan piring, kelenturan dalam menerima nilai-nilai baru, dan kawin-mawin antaretnis menempatkan Tionghoa sebagai saudara etnis Dayak dan Melayu, dua etnis yang hidup di Kalimantan.

Setelah dua hari dilanda hujan lebat, siang itu Kota Singkawang cerah. Bong Miong Min (34) bermain bersama anak-anaknya, yakni Aliung (11), Ciliung (10), dan A Kim (8). Istrinya, Sabina (32), tengah menyuapi anak bungsu mereka, Sansan (3), di dapur.

Bong adalah keturunan Tionghoa yang dibesarkan Tomik, seorang pemain tatung beretnis Dayak. Bong kini mendalami tatung, sejenis debus, yang merupakan hasil akulturasi budaya Dayak dan Tionghoa. Dalam prosesinya, tatung mirip dengan kamang tariu milik etnis Dayak. ”Saya belajar dari orangtua angkat saya,” kata Bong.

Ia menikahi Sabina, gadis berdarah Dayak kelahiran Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Keduanya dikaruniai empat anak yang beberapa di antaranya selalu ikut dalam penampilan tatung. Hari-hari ini, mereka mempersiapkan diri untuk tampil dalam perayaan Imlek dan Cap Go Meh.

Kota Singkawang yang berpenduduk 194.902 jiwa ini berada sekitar 145 kilometer dari Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Banyak warga Singkawang berdarah campuran. Meski secara fisik dan kultur mereka dibesarkan dalam lingkungan Tionghoa, mereka campuran antara Tionghoa dan Dayak atau Tionghoa dan Melayu.

”Nenek buyut saya orang Dayak dan kakek saya Tionghoa, tetapi keluarga kami tak bisa berbahasa Dayak karena besar di lingkungan Tionghoa,” kata Bong Su Khiong (35), warga.

Pertalian darah

Jejak pernikahan antaretnis di Singkawang telah terjadi sejak awal kedatangan etnis Tionghoa. Pada awal abad ke-18, Sultan Sambas Umar Akkamaddin mendatangkan puluhan warga Tionghoa untuk melihat potensi tambang emas di daerah Duri dan Montrado. Sebagaimana dijelaskan Any Rahmayani dalam buku Permukiman Tionghoa di Singkawang (2014), etnis Tionghoa berbondong-bondong datang sebagai pekerja tambang emas.

Nenek moyang etnis Tionghoa di Singkawang diduga berasal dari Kia Ying (pedalaman Guangdong), Tingzhou, dan Loeng Yen. Hal ini dilihat dari bahasa yang mereka gunakan, yakni bahasa Hakka atau Khek (Rahmayani, 2014). Ini yang mendasari etnis Tionghoa di Singkawang disebut China Khek.

Di Tiongkok terdapat larangan bagi perempuan untuk bepergian jauh, apalagi menjadi imigran. Akhirnya banyak pria imigran Tionghoa menikah dengan gadis Dayak. Belakangan, ada juga yang menikah dengan gadis Melayu atau sebaliknya. Namun, warga Tionghoa lebih dekat dengan Dayak, baik karena irisan agama maupun kuliner.

”Kami sama-sama makan babi. Kalau orang Melayu, kan, dilarang,” kata Sabina.

Walaupun ada batasan yang tegas karena perbedaan agama, sekat itu luntur dalam relasi sosial. Mereka tak mempersoalkan, bahkan kerap lupa bahwa rekan atau tetangganya berbeda etnis. Seperti terlihat di Pasar Beringin atau Turi yang diramaikan oleh pedagang Tionghoa, Melayu, dan Dayak. Begitu pula di sekolah-sekolah, para siswa dari berbagai etnis menyatu.

Di SMK Pertiwi, misalnya, mayoritas siswanya beretnis Tionghoa, tetapi mayoritas gurunya beretnis Melayu. Di luar kelas, mereka biasa bercanda atau berbincang dalam bahasa Indonesia. Siang itu, kami menyaksikan Asmayanti, yang beretnis Melayu, mengajar 40 siswa Tionghoa. Dia sesekali melontarkan guyonan-guyonan dan tampak akrab.

Nama antaretnis

Mereka lebur dalam konsep ”kita” sehingga tidak ada liyan atau the others dalam jalinan sosial itu. Pemilik warung padang, Posin (46), menceritakan, dia berdarah murni Melayu. Kakeknya adalah seorang tabib yang berkawan baik dengan seorang Tionghoa. Mereka kerap jalan-jalan bersama. Saat sahabatnya sakit, kakek Posin mengobatinya. ”Kakek saya terkesan dengan kebaikan orang Tionghoa itu sehingga memberi nama saya Posin. Posin itu nama sahabat kakek saya, he-he-he,” ujarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com