SALATIGA, KOMPAS.com - Tuntutan warga Kabupaten Sarmi Provinsi Papua kepada Nicholas Nyoto Prasetyo Dononagoro, pemilik perusahaan Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup, dinilai salah alamat.
Pasalnya, BLN dalam proyek tambang emas di Sarmi tersebut diketahui hanya selaku investor.
Kuasa hukum BLN Grup, Muhammad Sofyan mengatakan, akibat dari permasalahan tersebut Nicholas dan keluarganya menjadi 'tersandera' karena rumahnya digeruduk.
"Cara yang dilakukan mereka tidak lazim dalam hukum, sehingga merampas kemerdekaan klien kami," ujarnya di Ruang Muria Hotel Laras Asri Salatiga, Jumat (21/6/2024).
"Sejak Selasa hingga Jumat (18-21/6/2024) ini, ada sekitar 30-40 orang di rumah klien kami. Ini menimbulkan keresahan karena keluarga jadi tidak bisa beraktivitas bebas," kata dia.
Baca juga: Hutan Adat Rusak, Warga Papua Minta Perusahaan Salatiga Bertanggung Jawab
Menurut Sofyan, tak hanya sekadar menggeruduk, mereka juga melakukan perusakan properti dan bahkan melakukan pemukulan terhadap Supriyono, yang ditugaskan untuk melakukan survei di lokasi tambang.
"Atas serangkaian dugaan tindak pidana tersebut, telah kami laporkan ke Polres Salatiga," jelasnya.
Sofyan menegaskan bahwa kompensasi yang diminta juga tak masuk akal, yakni Rp 20 miliar meski kemudian turun menjadi Rp 8 miliar.
"Kalau permintaan tidak dituruti, rumah akan terus diduduki dan klien kami dipaksa ke Papua untuk menyelesaikan persoalan ini," kata dia.
"Padahal mereka yang datang itu tidak memiliki kuasa selaku wakil warga di Papua. Jadi meski sudah diterima baik-baik, tuntutannya tidak masuk akal," ungkap Sofyan.
Baca juga: Mengintip Deretan Hutan Paling Menawan di Dunia
Kuasa hukum lain, Imam Al Ghozali mengungkapkan, permasalahan tersebut berawal saat Supriyono bertemu dengan pengurus ormas di Papua berinisial M.
"Dalam pertemuan tersebut M menyatakan ada lahan yang bisa dikerjakan sebagai lahan tambang emas," terangnya.
"Oleh Supriyono, informasi tersebut diteruskan ke Pak Nicholas yang kemudian menurunkan tim ke Papua untuk mengecek legalitas, perizinan, dan potensi pertambangan di lahan tersebut," kata Ghozali.
Dari serangkaian pertemuan, pihak ormas menyatakan bahwa kondisi lahan tersebut clear secara hukum nasional dan hukum adat.
"Ormas tersebut juga memiliki kesepakatan tertulis dengan masyarakat adat. Sehingga klien memutuskan untuk melakukan investasi di lahan tersebut," kata Ghozali.
"Tentu sebelum itu ada proses persiapan, memerhatikan tata ruang, perizinan, dan soal legal lainnya. Ini merupakan tugas dari mitral lokal, bukan investor," jelasnya.
Baca juga: Profil Kepulauan Sangihe, Daerah yang Akan Dijadikan Tambang Emas
Menurut Ghozali, Nicholas Nyoto tidak terikat langsung dengan pemilik lahan dan pekerjaan penambangan tersebut.
"Sekali lagi, klien kami adalah investor. Jadi kalau diminta pertanggungjawaban kompensasi dan ganti rugi, itu salah alamat, karena tidak berhubungan dengan masyarakat adat," tegasnya.
Sebelumnya diberitakan, puluhan warga dan mahasiswa asal Papua mendatangi Polres Salatiga, Kamis (20/6/2024). Mereka meminta mediasi terkait perusakan hutan adat yang dilakukan perusahaan asal Salatiga, Bahana Lintas Nusantara (BLN) Grup.
Lawyer warga Papua, Alvares Guarino mengatakan perusakan hutan adat tersebut terjadi di Kabupaten Sarmi Provinsi Papua.
"Itu berawal saat akhir tahun lalu, Desember 2023, dari pihak BLN ingin usaha di tanah Papua dengan usaha tambang emas," ujarnya.
Informasi selengkapnya dapat disimak di sini.
Baca juga: Ramai soal Harga Saham ANTM, Berikut Profil dari Aneka Tambang (Antam)...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.