Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wadon Wadas, Potret Perjuangan Perempuan Melawan Penambangan Batuan Andesit di Desa Wadas

Kompas.com - 19/06/2024, 12:25 WIB
Bayu Apriliano,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

PURWOREJO, KOMPAS.com - Nama Wadon Wadas, mungkin sudah tidak asing lagi di telinga.

Ya, perkumpulan perempuan ini, memang terkenal sejak meledaknya perlawanan mereka terhadap lahan tambang batuan andesit di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu.

Demi mempertahankan ruang hidupnya, Wadon Wadas harus mengalami tekanan dan intimidasi oleh pihak-pihak yang ingin merusak alam di desanya.

Rusaknya alam Wadas kian nyata dengan direalisasikannya Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu Ganjar Pranowo.

Baca juga: Sidang Konsinyasi Berakhir, Uang Ganti Rugi Rp 7,9 Miliar atas Lahan di Wadas Dititipkan di PN Purworejo

Bahkan, izin yang habis pun terus diperpanjang untuk merusak alam Wadas.

Dikutip dari rilis resmi Wadas Melawan, tambang batuan andesit di Wadas akan mengganggu kelestarian lingkungan dan berpotensi menghilangkan sumber mata air desa setempat.

Tambang quarry atau penambangan terbuka di Wadas rencananya akan dikeruk dengan cara dibor dan diledakkan menggunakan dinamit hingga kedalaman empat puluh meter.

Atas alasan itulah warga Wadon Wadas menolak mentah-mentah penambangan yang yang ada di desanya, termasuk Imel (20), seorang remaja dua puluh tahun dan seorang pejuang penolak tambang yang tergabung dalam Wadon Wadas, organisasi warga di bawah naungan Gerakan Masyarakat Pecinta Alam Desa Wadas (disingkat Gempa Dewa), yang konsisten menolak pertambangan batuan andesit di desanya.

Selain merusak ekosistem lingkungan, tambang batuan andesit di Desa Wadas juga merusak potensi ekonomi dan menyebabkan konflik. Tambang batuan andesit ini akan menghilangkan pekerjaan warganya yang sebagian besar adalah petani.

Mereka akan kehilangan lahan produktif yang sehari-hari sebagai tempat mata pencaharian warga.

Dengan berbekal Google Maps yang dikirimkan Imel, Kompas.com mencoba menelusuri jalan menuju Desa Wadas, untuk mendalami kisah Wadon Wadas yang konsisten berjuang dalam mempertahankan ruang hidupnya.

"Lokasinya yang pertama kejadian kekerasan waktu puasa," kata Imel, memberikan petunjuk melalui pesan WhatsApp.

Langsung saja kata kunci yang diberikan Imel mengingatkan pada Jumat 23 April tahun 2021 lalu. Masyarakat Desa Wadas menyebutnya dengan "tragedi 234".

Mungkin, hari itu adalah hari yang tak terlupakan oleh Imel dan warga kontra tambang lainnya.

Siapa sangka acara mujahadah dan doa bersama masyarakat Wadas, penolak tambang, yang seharusnya khusuk dan tenang, malah menjadi hari yang memilukan bagi sebagian warga, khususnya Imel.

Pada tragedi bulan puasa itu, Imel dan 11 kawan seperjuangnnya ditangkap aparat selepas bentrok yang tak dapat dihindarkan antara warga dan ratusan aparat kepolisian yang kala itu dipimpin oleh Kapolres Purworejo AKBP Rizal Marito.

Kedatangan aparat tersebut diketahui untuk mengawal Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Purworejo dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak untuk melakukan sosialisasi pemasangan patok trase dan mengecek bidang tanah milik warga.

Namun, kehadiran para pejabat elit yang tidak diharapkan tersebut dihadang warga dengan aksi mujahadah dan doa bersama di jalan tepat di sebelah rumah Imel.

"Waktu itu (saat terjadi bentrokan) saya mengambil video, terus saya mau ke bawah, tapi ada yang bilang 'itu tangkap' terus tiba-tiba sudah ditangkap," kata Imel, menceritakan penangkapan dirinya saat tragedi 23 April 2021 yang lalu.

Tak berselang lama, setelah ditangkap Imel dimasukkan mobil polisi dan dibawa ke Polsek Bener. Menjelang sore, Imel dibawa ke Polres Purworejo untuk dimintai keterangan.

"Baru dilepas jam 2 malam, nunggu direktur LBH (Jogja) datang," kata Imel, Senin (17/6/2024).

Berbekal kata kunci yang diberikan Imel, Kompas.com menelusuri jalanan mengikuti arah yang ditunjukkan Google Maps, sembari mengingat lokasi peristiwa 23 April yang sempat menghebohkan warga desa itu.

Sebenarnya, rumah Imel tak begitu jauh, kurang lebih 30 menit dari pusat Kota Purworejo.

Saat memasuki desa, bentangan spanduk penolakan sudah sangat akrab menyambut siapapun yang datang ke Desa Wadas.

Gambar-gambar mural pun tak luput menyuarakan suara rakyat yang akan tertindas oleh tambang ini.

Saat pertama tiba di depan rumah Imel, beberapa bilah bambu dan potongan bambu yang sudah dibersihkan berjajar rapi di teras rumahnya.

Tak berselang lama seorang perempuan paruh baya pun keluar dan menyambut dengan penuh kesopanan khas desa.

"Maaf, Mas, berantakan," kata dia, sembari merapikan bilah-bilah bambu bahan untuk membuat besek, anyaman bambu untuk tempat nasi atau makanan lain, yang merupakan ciri khas masyarakat Wadas.

Perempuan paruh baya berkulit sawo matang tadi adalah ibu dari Imel, dan juga anggota Wadon Wadas.

 

Kerajinan besek

Wadon Wadas saat menggelar acara dibawah tugu perlawanan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten PurworejoDok Gempadewa Wadon Wadas saat menggelar acara dibawah tugu perlawanan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo

Sudah menjadi pengetahuan umum, masyarakat Desa Wadas memang dikenal sebagai pembuat besek.

Besek bentuknya segi empat dan biasanya dipakai untuk kegiatan masyarakat seperti kenduri, tapi banyak juga yang memakai besek untuk tempat simpan makanan.

Tak berselang lama, Imel pun muncul dan menjelaskan bagaimana keseharian masyarakat Wadas dalam membuat besek yang bagus dan bernilai jual.

Bahkan, besek buatan warga Wadas ini sudah dijual hingga keluar kota seperti Magelang, Kebumen, hingga Yogyakarta.

Pembuatan besek, kata Imel, diawali dengan memotong bambu yang tumbuh subur di lahan yang saat ini terancam pertambangan.

Setelah diambil, bambu kemudian dipotong-potong sepanjang 25 atau 30 sentimeter tergantung kebutuhan. Setelah pemotongan selesai bambu dibelah dan ditipiskan berbentuk lembaran-lembaran.

Baca juga: Warga Wadas Anggap Mekanisme Konsinyasi Cacat Hukum

"Dijemur dulu satu hari baru bisa kita anyam," kata Imel, dengan memegangi bambu yang sudah siap dianyam ditangannya.

Dalam sebulan, aktivis Wadon Wadas ini mampu menghasilkan 800 buah besek siap jual. Satu buahnya bisa dijual antara Rp 2.000 hingga Rp 3.000 tergantung ukuran.

Dari penjualan besek saja masyarakat Wadas dapat meraup Rp 1.600.000 hingga Rp 2.400.000 per bulan, melebihi upah minimum Kabupaten Purworejo yang hanya Rp 2.127.641.

"Ada pengepulnya, Mas, nanti ada yang ambil sendiri ke sini. Pengepul biasanya dijual lagi ke luar kota,” kata dia.

Dari hasil penjualan besek saja, para Wadon Wadas ini sudah mampu mencukupi kehidupan sehari-hari, belum ditambah lagi penghasilan para suami mereka yang bekerja sebagi petani. Bahkan, diketahui potensi hasil pertanian Wadas cukup besar.

Hasil kebun Wadas, menurut data yang dirilis Gempa Dewa, mencapai Rp 8,5 miliar per tahun.

Hasil kebun tersebut bisa lebih besar jika ditambah komoditas kayu keras yang mencapai Rp 5 miliar per tahunnya.

Pendapatan tertinggi masyarakat merupakan hasil kebun yang diperoleh dari pohon aren, mahoni, jati, durian, sengon, dan kemukus. Termasuk bahan pangan sehari-hari seperti cabai, petai, pisang, kopi, jahe, dan kelapa.

"Dari hasil penelitian dan riset kami, potensi durian bisa menghasilkan Rp 1,25 miliar tiap panen, kemukus dengan Rp 1,35 miliar per tahun. Sedangkan cabai bisa mencapai Rp 75 juta tiap bulan dan cengkeh bisa meraup Rp 64 juta per tahun," kata dia.

Hal inilah yang menjadi alasan terkuat masyarakat Wadas untuk tetap menolak rencana penambangan di desanya.

Selain itu, Imel menilai ada kejanggalan sejak mulainya proses pembangunan Bendungan Bener ini sehingga Wadon Wadas terus berjuang menolak tambang.

Penolakan Wadon Wadas terhadap rencana penambangan ini sudah sejak proses awal sekitar tahun 2015, yakni saat terdapat perusahaan swasta yang melakukan pengeboran tanah di dua lokasi dengan kedalaman 75 dan 50 meter di Desa Wadas.

Pengeboran tanah ini dilakukan untuk menjadi bahan uji di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak. Saat itu warga Wadas sudah mulai menolak kegiatan yang dilakukan.

“Sebenarnya sudah sejak awal kita menolak, Mas. Tapi, suara kita tidak ada yang mendengar,” kata dia.

Penolakan Wadon Wadas berlanjut pada 2018 lalu, saat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menerbitkan surat nomor 590/41 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bendung Bener yang diduga banyak kejanggalan dalam proses terbitnya izin tersebut.

Setelah terbit izin penetapan lokasi yang pertama, penolakan demi penolakan dilakukan oleh Gempa Dewa maupun Wadon Wadas hingga izin berakhir.

Namun, penolakan terus menerus tersebut tidak menjadi perhatian pemerintah, bahkan suara rakyat pun dianggap angin lalu dan rakyat pun dipaksa setuju alamnya hendak dirusak oleh tambang.

Setelah masa berlaku izin habis, pemerintah malah memperpanjang izin melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021.

Dengan perpanjangan ini warga Wadas khususnya Wadon Wadas beberapakali menggelar aksi. Namun, aksi Wadon Wadas tak pernah digubris oleh pemerintah.

“Sampai kapan pun kita akan menolak, karena ini adalah aset untuk keberlangsungan anak cucu kita ke depannya," ujar Imel.

Setelah bercerita panjang dan lebar dengan Imel, ia menyarankan untuk menemui anggota Wadon Wadas yang lain yakni Dewi (20).

Sama seperti Imel, Dewi juga sangat gigih dalam melawan pertambangan di Desa Wadas.

Segala bentuk aksi dan advokasi telah dilakukan Dewi untuk menggagalkan proyek tambang batuan andesit ini.

“Tuntutan kami masih sama dan kami tetap konsisten agar pemerintah mencabut IPL," kata Dewi.

Dengan semangat, ia menceritakan perjuangannya mempertahankan lahan miliknya.

Melihat terus berjalannya proyek tambang di desanya tanpa memperhatikan hak-hak warga kontra tambang, Dewi, Imel dan anggota Wadon Wadas lainnya tak tinggal diam, mereka terus menyuarakan hak-hak mereka ke berbagai tempat.

Warga Wadas juga menggugat Gubernur Jawa Tengah ke PTUN Semarang. Gugatan warga tertanggal 7 Juni 2021 tersebut dilakukan karena Ganjar dinilai merugikan warga atas terbitnya IPL yang dianggap cacat hukum tersebut.

Dewi mengatakan, pada 21 Juni 2021, mereka mendatangi Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang dan menggelar aksi di sana.

Serentetan aksi lainnya berlanjut pada 9 Agustus 2021, ketika Wadon Wadas kembali menggelar aksi di PTUN Semarang dengan menganyam besek di halaman PTUN, sebagai simbol bahwa pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat setempat.

Aksi dilanjutkan dengan membagikan 234 bungkus makanan untuk mengecam tindakan represif aparat pada 23 April 2021 yang lalu serta mengawal gugatan yang sedang berlangsung di PTUN Semarang.

“Dari awal para perempuan di sini sudah mulai melawan, kita melakukan aksi-aksi yang merupakan bentuk penolakan kami terhadap tambang," kata dia.

Masih tak digubris, suara warga Wadas semakin lantang. Ratusan warga mendatangi kantor BPN Purworejo pada bulan September 2021 dan menyerahkan surat pernyataan penolakan inventarisasi dan identifikasi tanam tumbuh di Wadas dan puluhan aksi lainnya yang sampai saat ini masih belum membuahkan hasil.

Melihat pengorbanan dan kegigihan masyarakat dalam mempertahankan haknya, Dandhy Dwi Laksono, jurnalis dan produser film ternama, dan Asfinawati, direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengunjungi Desa Wadas pada 18 November 2021.

Warga dan kedua orang orang tersebut mendiskusikan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat di tengah hutan yang akan dijadikan lahan tambang.

Kesengsaraan warga mencapai puncaknya tambah Dewi, saat warga sipil yang tak mempunyai kekuatan harus mengalami tindakan represif aparat pada tanggal 8-11 Februari 2022.

Warga sipil yang sedang mujahadah didatangi ribuan polisi yang bersenjata lenkap. Akibatnya sebanyak 60 lebih warga Wadas dan LBH ditangkap aparat kepolisian dan dituduh sebagai provokator.

Ribuan aparat mengepung Wadas dengan dalih mengamankan pengukuran dan inventarisasi bidang tanah tahap pertama di desa tersebut.

Beruntung, Imel dan Dewi saat kejadian tersebut tidak ikut terciduk aparat. Namun, puluhan warga harus menjalani pemeriksaan di Polres Purworejo termasuk beberapa anggota Wadon Wadas.

“Kami yakin apa yang kami lakukan bukanlah sebuah kesalahan, kami hanya ingin menjaga hak kami dan alam kami untuk anak cucu kami ke depannya," kata Dewi.

Di tengah berjalannya proses pengambilalihan lahan oleh pemerintah, warga kontra tambang semakin terdesak.

Beberapa oknum bahkan sudah berpindah haluan dan menyatakan keluar dari Wadon Wadas serta menyerahkan tanahnya kepada pihak tambang. Meskipun begitu, Dewi dan anggota Wadon Wadas lainnya masih tetap bertahan dan melawan.

Kemerdekaan bagi Dewi adalah semu. la masih melihat penindasan atas nama kemanusiaan di depan mata kepalanya sendiri.

Baca juga: Tolak Ganti Rugi Rp 5,3 Miliar, Warga Wadas: Tanah Bisa Jangka Panjang, kalau Uang Cepat Habis

 

Saat warga lainnya memperingati HUT ke-77 RI, Wadon Wadas masih harus berjuang melawan perampasan tanah di desanya.

Untuk menyatakan simbol perlawanan kepada para perampas lahan, Dewi dan Wadon Wadas lainnya menggelar upacara peringatan kemerdekaan tahun 2022 dengan mengibarkan bendera setengah tiang.

"Kita sudah aksi lebih dari 20 kali dan akan terus kita lakukan entah sampai kapan,” kata dia.

Perlawanan Wadon Wadas yang sudah berpuluh kali dilakukan memang belum membuahkan hasil.

Namun, semangat perjuangan dan perlawanan warga terus berlanjut, setiap bulannya Wadon Wadas melakukan konsolidasi dan mujahadah untuk terus melawan ketidakadilan.

“Setidaknya kita masih punya Tuhan untuk bersandar, meski berat tapi api perlawan ini harus tetap kita jaga,” kata Dewi.

Wadas adalah salah satu dari empat desa yang terdapat dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk sumber material pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener.

Wadas menjadi satu-satunya desa yang dipilih dan akan dijadikan lahan tambang untuk mensuplai kebutuhan material batuan andesit pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener.

Beberapa lokasi lain yang masuk dalam amdal tapi tidak terpilih antara lain Gunung Wareng di Kedung Loteng, Gunung Mengger, Gunung Sipendul, dan Gunung Kuning di Guyangan.

Belakangan diketahui Desa Wadas ditetapkan sebagai lokasi penambangan batuan andesit karena lokasinya yang lebih dekat dengan lokasi bendungan, yang jaraknya hampir tiga belas kilometer dari Wadas.

Namun, alasan jarak inilah yang nampaknya lebih dipentingkan pemerintah daripada kondisi sosial-ekonomi yang ada di masyarakat Wadas.

Ditetapkannya Desa Wadas sebagai lahan tambang menimbulkan konflik yang berkepanjangan bahkan sampai saat ini.

Bukan hanya konflik antar warga dan pemerintah selaku pemangku kebijakan, bahkan konflik dengan aparat kepolisian pun tak dapat dihindarkan akibat proyek tambang yang ambisius ini.

Bendungan Bener adalah sebuah proyek bendungan bertipe urugan batu yang dibangun di Desa Guntur, Bener, Purworejo. Diketahui struktur Bendungan Bener ini akan mencapai tinggi 156 meter.

Bendungan ini direncanakan akan menjadi bendungan dengan struktur bendung tertinggi di Indonesia.

Berdasarkan Perpres Nomor 109 Tahun 2020, Bendungan Bener masuk menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dari total 201 PSN yang sedang digencarkan oleh pemerintahan presiden Jokowi.

Dari ratusan PSN tersebut 48 di antaranya adalah sektor pembangunan infrastruktur bendungan dan salah satunya adalah PSN Bendungan Bener.

Menurut beberapa sumber, bendungan ini direncanakan untuk mengairi lahan seluas 1.940 hektar, menyediakan air baku 1.500 liter per detik, dan memasok Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 6 megawatt.

Selain itu, bendungan juga diharapkan mengurangi banjir dan lokasi wisata. Namun, dibalik itu, Proyek Strategis Nasional ini berdampak pada kondisi sosial-ekonomi di masyarakat Wadas, yang akan ditambang batu andesitnya sebagai sumber utama material Bendungan Bener.

Potensi rusaknya alam, matinya sumber air, hilangnya sumber penghasilan dan konflik horizontal antar warga menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup warga Wadas.

Tambang batuan andesit di Wadas menargetkan 15,53 juta meter kubik material batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener, dengan kapasitas produksi 400.000 meter kubik setiap bulannya.

Jika dilakukan, penambangan akan menghilangkan bentang alam Desa Wadas dan secara tidak langsung memaksa warga untuk hidup di bawah kerusakan ekosistem.

Selain tak bisa lagi mengolah lahan untuk pertanian, masyarakat juga kehilangan hak mewariskan tanah pada generasi penerus.

Setelah meledaknya peristiwa penangkapan 60 lebih warga oleh aparat, berbagai instansi dan lembaga baru memberikan perhatiannya. Dari DPR RI, Komnas HAM, LPSK, Gusdurian dan lain sebagainya.

Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil juga menyoroti hal ini, Ia menilai, ada dugaan penyelundupan hukum IPL tambang batu andesit di Desa Wadas.

Tak hanya itu, Nasir menyebut, pembangunan Bendungan Bener dan penambangan batu andesit adalah dua hal yang berbeda.

Selain, lokasi keduanya yang terpaut jarak cukup jauh, juga hanya pembangunan Bendungan Bener yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Desa Wadas tidak termasuk dalam PSN, jadi Amdal antara keduanya tidak bisa dijadikan satu.

"Saya bisa katakan ada persoalan administrasi. Bahkan ada dugaan penyelundupan hukum dalam keputusan IPL itu yang digugat warga dan dimenangkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mulai dari tingkat awal, banding, hingga kasasi. Seolah-olah penambangan batu andesit ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional,” ujar Nasir, saat menjadi narasumber diskusi daring oleh lembaga survei nasional, Selasa (15/2/2022).

Nasir menceritakan, awal mula terjadinya konflik di Desa Wadas adalah saat Kementerian PUPR menerbitkan hasil kajian ahli dan amdal.

Hasil kajian tersebut memutuskan bahwa tambang batu andesit yang paling dekat dengan lokasi bendungan berada di Desa Wadas.

“Padahal, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Purworejo, lokasi tambang andesit itu ada di desa lain, bukan di Desa Wadas. Bahkan sudah ada lima penambang yang memiliki izin usaha penambangan di kecamatan tersebut,” urainya.

Oleh karena itu, terjadi pergolakan di masyarakat karena di dalam dokumen Amdal tersebut, Wadas dijadikan sebagai pemasok bahan baku batuan andesit untuk konstruksi pembangunan Bendungan Bener.

Pergolakan ini, tambah Nasir, tidak hanya terjadi saat ini, tapi sudah dilakukan penolakan pengambilan batu andesit sejak 2017.

Kondisi ini makin diperparah dengan keluarnya IPL oleh Pemprov Jawa Tengah yang memuat keputusan tentang pembangunan Bendungan Bener dan penambangan batu andesit di Wadas.

"Jadi ini 'pinter' juga sebenarnya. Bahwa surat keputusan IPL itu sudah diuji ke PTUN oleh masyarakat, namun kalah kasasi. Aturan ini 'pinter' karena memasukkan IPL penambangan batu andesit di Desa Wadas itu dalam satu keputusan yang di dalamnya juga ada PSN. Jadi, kesannya seolah-olah penambangan batu andesit yang ada di Desa Wadas itu bagian dari tak terpisahkan dari pembangunan Bendungan Bener itu sendiri. Padahal, dua hal yang berbeda dalam pandangan kami," ujar Nasir.

 

Warga yang konsisten menolak 

Lokasi penambangan batuan andesit di Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Jawa Tengah pada Sabtu (16/3/2024)KOMPAS.COM/BAYUAPRILIANO Lokasi penambangan batuan andesit di Desa Wadas Kecamatan Bener Kabupaten Purworejo Jawa Tengah pada Sabtu (16/3/2024)

Hingga saat ini, perjuangan Wadon Wadas dan Gempadewa masih menolak adanya tambang batuan andesit di desanya. Meski saat ini hanya tinggal segelintir warga yang masih konsisten menolak uang miliaran rupiah yang akan diberikan oleh pemerintah.

Salah satunya adalah Priyanggodo dan istrinya yang merupakan anggota Wadon wadas.

Priyanggodo merupakan salah satu dari 3 orang yang menolak melepaskan tanah miliknya yang akan dijadikan lahan tambang batuan andesit. Dua warga lainnya yakni Ngatirin dan Ribut juga menolak melepaskan tanah miliknya.

Akibatnya, 3 orang tersebut harus menjalani sidang konsinyasi, yakni sidang penitipan uang ganti rugi di pengadilan meskipun mereka menolak menyerahkan tanah miliknya.

Priyanggodo mengatakan, alasan dirinya menolak uang ganti rugi miliaran rupiah tersebut karena tidak ingin anak cucunya kehilangan mata pencaharian sebagai petani.

Untuk itulah, ia mempertahankan tanahnya dari PSN tambang batuan andesit di Desa Wadas.

Soale kulo niku wong tani pak, nek duit niku jane ngih penting tapi kan lebih penting masalah ekonomi, soal lemah yang jelas (soalnya saya itu petani pak, kalau uang itu ya penting tapi kan lebih penting masalah ekonomi, terkait tanah yang jelas),” kata Priyanggodo, saat ditemui usai sidang Konsinyasi di Pengadilan Negeri Purworejo, pada Senin (3/6/2024).

Soale nek koyo lemah ki jangka panjange nggih lama lah, terus terang, saget damel anak putu, tapi nek sik jenenge arto kadang sebulan dua bulan kan habis (soalnya kalau tanah itu buat jangka panjang, terus terang bisa buat anak cucu, tapi kalau uang kadang sebulan dua bulan bisa habis),” tambah Priyanggodo.

Karena menolak uang ganti rugi tersebut, Priyanggodo dan 2 orang warga lainnya harus menjalani sidang pengajuan penitipan uang ganti rugi atau konsinyasi yang diajukan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) Yogyakarta, di Pengadilan Negeri Purworejo, pada Senin (3/6/2024) siang.

Baca juga: Prabowo-Gibran Ungguli Ganjar-Mahfud di Wadas, Anies-Muhaimin Raup Sedikit Suara

Priyanggodo menyebut, sebagai seorang petani, nominal senilai kurang lebih Rp 5 miliar tersebut terlalu banyak.

Sehingga, ia juga takut jika nantinya melepas tanahnya yang diganti dengan uang malah menjadikannya bingung untuk mengatur keuangan.

Nek arto dados kulo tiyang tani niku malah bingung le bade ngecakake, kulo nek kon milih- milihan lebih milih tanah ketimbang arto (kalau uang, saya sebagai petani malah bingung membaginya, kalau disuruh milih, saya lebih milih tanah daripada uang),” kata Priyanggodo.

Soale nek tanah niku ngih saget nguripi jangka panjang, nek arto kan cepet telas, kalau awak dewe mboten saget le mengelola, la niku sik luweh bahaya (soalnya kalau tanah itu bisa menghidupi jangka panjang, kalau uang cepat habis, kalau kita tidak bisa mengelola, lha iru yang lebih bahaya),” tambah Prinyanggodo.

Terungkap dalam persidangan, terdapat 5 bidang tanah milik tiga warga Desa Wadas yang belum terbayarkan dan rencana akan dititipkan di Pengadilan Negeri Purworejo atau di konsinyasikan oleh BBWSSO.

Lima bidang tanah itu di antaranya lahan milik Ribut dengan luas 1.999 meter persegi dengan jumlah uang ganti rugi sebesar Rp 1.407.401.725, lahan milik Ngatirin seluas 1.538 meter persegi dengan jumlah uang ganti rugi senilai Rp 1.240.624.085, lahan milik Priyanggodo seluas 2.383 meter persegi dengan jumlah ganti rugi senilai Rp 2.013.757.017, lahan milik Priyanggodo seluas 3.783 meter persegi dengan jumlah ganti rugi senilai Rp 2.510.217.896, dan lahan milik Priyanggodo seluas 1.082 meter persegi dengan jumlah ganti rugi senilai Rp 811.800.181.

Sementara itu, Surono sebagai PPK Pengadaan Tanah BBWSSO Yogyakarta, mengatakan, permohonan untuk penitipan uang ganti kerugian atau konsinyasi yang pertama ini dilakukan untuk tiga warga Desa Wadas.

“Jadi, dipengadaan tanah di Desa Wadas itu kan ada beberapa tanah terdampak dan ini yang kita ajukan hanya tiga. Tiga warga terdampak dengan jumah 5 bidang. Luasanya sekitar 10 ribuan lebih meter persegi, kalau nominalnya sekitar Rp 7,9 miliar,” kata Surono.

Ia menuturkan, dalam pengadaan lahan tanah di Desa Wadas, pihaknya selaku BBWSSO sebagai instansi yang akan menggunakan lahan, adapun tim pelaksana dilakukan oleh BPN.

Namun demikian, sedikit banyak BBWSSO juga ikut serta di dalam proses kegiatan pelaksanaan, juga masyarakat selalu dilibatkan, baik dalam sosialisasi musyawarah.

“Benar tidaknya yang disampaikan kuasa hukum warga, kami tidak memastikan, itu kan ranahnya terkait dengan nanti kami ada termohon dan antara pemohon itu juga ada penengahnya yaitu adalah hakim. Kami kan berdasarkan dasar-dasar peraturan, itulah yang kami pakai,” terangnya.

Surono menuturkan, bahwa mekanisme konsinyasi merupakan pilihan terakhir karena pihak termohon tidak kooperatif.

Pihak BBWSSO bersama stakeholder terkait terus berupaya mengajak masyarakat Wadas untuk berkomunikasi.

“Kami sudah mengundang 3 kali, namun mereka (termohon) tidak pernah hadir. Selain itu kami mengajukan (konsinyasi) sesuai dengan dasar hukum yang berlaku,” terang Surono.

Dengan adanya mekanisme konsinyasi atau permohonan penitipan uang ganti kerugian lahan terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, kuasa hukum warga Wadas Dhanil Al Ghifary mengatakan mekanisme tersebut cacat hukum.

Menurut Dhanil, dari awal, warga tidak menolak nominal ganti rugi melainkan menolak aktivitas pertambangan di Desa Wadas karena merusak lingkungan dan mengancam kelangsungan hidup warga.

“Jika mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, konsinyasi hanya bisa diterapkan jika pemilik tanah menolak besaran uang ganti rugi, pihak yang berhak tidak diketahui keberadaanya, dan tanah sedang menjadi obyek perkara di pengadilan, disita pemerintah, dan jadi jaminan bank,” ujar Dhanil.

Adapun rincian kepemilikan lahan dan besaran ganti rugi dari 3 termohon yakni, atas nama Ribut dengan luas 1.999 meter persegi dengan nilai Rp 1,4 miliar dan atas nama Ngatirin luas 1.538 meter persegi dengan nilai Rp 1,2 miliar.

Sementara, Priyanggodo memiliki 3 bidang dengan luas total 7.248 meter persegi dengan nilai total sekitar Rp 5,3 miliar.

Karena tak pernah diperhatikan dan diabaikan haknya oleh pemerintah, Wadon Wadas sampai saat ini, tetap melawan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

13 Anggota Jaringan Narkoba Lintas Provinsi Ditangkap, Puluhan Kilo Sabu dan Ganja Disita

13 Anggota Jaringan Narkoba Lintas Provinsi Ditangkap, Puluhan Kilo Sabu dan Ganja Disita

Regional
Raih Penghargaan dari PBB untuk Penanganan Stunting, Mbak Ita Banjir Pujian dari Berbagai Pihak

Raih Penghargaan dari PBB untuk Penanganan Stunting, Mbak Ita Banjir Pujian dari Berbagai Pihak

Regional
Pemkot Semarang Raih Penghargaan Daerah Terinovasi dalam Pembangunan Keluarga 2024

Pemkot Semarang Raih Penghargaan Daerah Terinovasi dalam Pembangunan Keluarga 2024

Regional
Misteri Kematian Santriwati di Lombok Barat, Merengek Minta Pulang Sebelum Meninggal

Misteri Kematian Santriwati di Lombok Barat, Merengek Minta Pulang Sebelum Meninggal

Regional
Bertemu Nikson Nababan, Warga Karo Ungkapkan Kekagumannya

Bertemu Nikson Nababan, Warga Karo Ungkapkan Kekagumannya

Regional
Danau Beko di Tegal: Daya Tarik, Aktivitas, dan Rute

Danau Beko di Tegal: Daya Tarik, Aktivitas, dan Rute

Regional
Gunung Lewotobi Laki-Laki Meletus 5 Kali Hari Ini, Waspada Abu Vulkanik

Gunung Lewotobi Laki-Laki Meletus 5 Kali Hari Ini, Waspada Abu Vulkanik

Regional
Angka Perceraian Naik karena Hubungan 'Toxic', Didominasi Pasangan Muda

Angka Perceraian Naik karena Hubungan "Toxic", Didominasi Pasangan Muda

Regional
Kepala BKKBN: Keluarga Indonesia Tetap Bahagia meski Sedikit Miskin

Kepala BKKBN: Keluarga Indonesia Tetap Bahagia meski Sedikit Miskin

Regional
Bareskrim Periksa Mantan Gubernur Riau Terkait Dugaan Korupsi

Bareskrim Periksa Mantan Gubernur Riau Terkait Dugaan Korupsi

Regional
Pemeran Pria Dalam Foto Syur Selebgram Ambon Ternyata Oknum Brimob

Pemeran Pria Dalam Foto Syur Selebgram Ambon Ternyata Oknum Brimob

Regional
Bos Distro 'Anti Mahal' Palembang Pembunuh Penagih Utang Ditangkap di Padang

Bos Distro "Anti Mahal" Palembang Pembunuh Penagih Utang Ditangkap di Padang

Regional
Nikson Nababan: Saya Enggak Kasih Uang Satu Rupiah Pun ke Masyarakat

Nikson Nababan: Saya Enggak Kasih Uang Satu Rupiah Pun ke Masyarakat

Regional
Janji Bisa Loloskan Seleksi Polri, Brimob Gadungan Buat Warga Palembang Rugi Rp 345 Juta

Janji Bisa Loloskan Seleksi Polri, Brimob Gadungan Buat Warga Palembang Rugi Rp 345 Juta

Regional
Capaian ISPS 99 Persen, Mbak Ita Raih Penghargaan Manggala Karya Kencana dari BKKBN

Capaian ISPS 99 Persen, Mbak Ita Raih Penghargaan Manggala Karya Kencana dari BKKBN

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com