SEBAGAIMANA daerah lain di Indonesia yang memiliki potensi pariwisata berlimpah, Kabupaten Dompu, di Provinsi Nusa Tenggara Barat, pun ada dalam barisan yang sama.
Topogafi alam panoramik, keunikan budaya, garis pantai yang melalui hampir semua kecamatan di Dompu, hamparan Savana sangat luas, pola hidup masyarakat yang mengundang keingintahuan, kekayaan kuliner khas, sistem sosial budaya yang menarik, dan sistem serta model aktualisasi keyakinan yang juga tak kalah spritualistiknya dibanding di daerah lain, adalah rentetan potensi turistik yang siap untuk mengisi pundi-pundi ekonomi Dompu secara khusus dan Pulau Sumbawa secara umum, jika disentuh dan dikelola dengan tepat.
Semua potensi tersebut, tentu terlebih dahulu harus disadari sebagai potensi pariwisata, agar kemudian bisa dikategorikan sebagai aset pariwisata yang bisa dimonoteisasi untuk kemaslahatan masyarakat Dompu.
Sepanjang interaksi saya dengan daerah Dompu dalam beberapa bulan terakhir, saya bertemu dengan persoalan pariwisata yang pertama, yakni rendahnya literasi dan kesadaran pariwisata di hampir semua tingkatan pengambil kebijakan.
Terdapat disparitas literasi pariwisata yang cukup signifikan, terutama di antara para pengambil kebijakan di Kabupaten Dompu.
Kurang mendalam dan komprehensifnya literasi kepariwisataan hampir terdapat di semua level pengambil kebijakan yang mengakibatkan potensi-potensi pariwisata di atas menjadi kurang tersadari, tergali, bahkan di beberapa lokasi justru mengalami mismanajemen.
Sehingga, hasil yang didapat cenderung sangat minim, sesuai dengan bentuk sentuhan minim yang diberikan.
Kondisi literasi pariwisata semacam ini harus segera ditambal oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten, dengan cara duduk bersama dengan semua pihak yang masuk ke dalam kategori stakeholder sektor pariwisata Dompu untuk membuat komitmen bersama terhadap sektor cuan tersebut.
Hasilnya adalah berupa visi misi pariwisata yang akan diturunkan ke dalam masterplan pariwisata dan kebijakan-kebijakan pendukung.
Dalam hal ini, bentuk kebijakan pendukung bisa berupa regulasi, insentif, pun berbagai macam keberpihakan (fiskal, hukum, dan politik), harus segera diarahkan kepada sektor pariwisata di daerah Dompu.
Namun sebelum itu, yang paling dasar dan utama dari semua ikhtiar itu adalah munculnya kesadaran pariwisata dari sang kepala daerah terlebih dahulu.
Hal semacam ini lazim kita sebut dengan istilah pembentukan "CEO Commitment" atau komitmen kepala daerah atau pemimpin-pemimpin institusi terkait beserta tokoh-tokoh daerah yang ada.
Jika kepala daerah sudah committed, misalnya, maka jalan lebar akan terbentang untuk sektor pariwisata di daerah.
CEO Commitment adalah entry point yang akan menjadi pembuka signifikan untuk menggeliatkan sektor pariwisata di daerah Dompu.
Contoh nyata adalah Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur. Komitmen tinggi dari seorang Bupati Azwar Anas kala itu adalah roh sekaligus penggerak perubahan Banyuwangi dari daerah yang dipersepsikan sebagai daerah santet menjadi daerah destinasi wisata yang membanggakan.