Lebih lanjut, Hartoyo menjelaskan bahwa organisasinya membuat program mendaftarkan transpuan miskin menjadi peserta BPJS-TK kelompok bukan penerima upah (BPU) dengan tujuan untuk menjaga ketika mereka meninggal dunia, ada klaim jaminan kematian BPJS-TK sebesar Rp42 juta.
“Iuran bulannya, Rp 16.800 kami dapatkan dari sumbangan dana publik,” jelas Hartoyo.
Data terakhir menunjukkan ada sekitar 170-an transpuan yang didaftarkan Suara Kita dalam apa yang disebut sebagai “program PBI komunitas”.
Pada 27 Oktober dan 28 Oktober 2022 silam, sekitar satu bulan setelah mendaftarkan sebagai peserta BPJS-TK, dua transpuan meninggal dunia – salah satunya adalah Erni Dadang.
Baca juga: Diduga Peras Transpuan, Seorang Perwira dan 3 Bintara Diperiksa Propam Polda Sumut
Dijelaskan Hartoyo, keduanya membuat surat wasiat yang isinya menyerahkan dana klaim kematian digunakan untuk biaya pemakaman, sementara sisanya digunakan untuk membantu iuran peserta lainnya.
Penerima surat wasiat lembaga Suara Kita, lembaga yang mengelola program PBI komunitas ini.
“Jadi harapannya kami komunitas transpuan ini memiliki dana solidaritas komunitas, melalui dana klaim kematian itu untuk kepentingan komunitas transpuan di seluruh Indonesia,” jelas Hartoyo.
“Ini mungkin cara komunitas miskin mengakses program pemerintah untuk perlindungan sosial, khususnya untuk dana kematian,” ujarnya kemudian.
Tapi saat diajukan klaim, lanjut Hartoyo, surat wasiat itu tidak diakui oleh BPJS TK, sehingga hanya santunan kematian sebesar Rp10 juta yang dapat dicairkan.
Baca juga: Pria yang Aniaya dan Sekap Pacar karena Cipika-cipiki dengan Transpuan Jadi Tersangka
Hal serupa dialami oleh sejumlah transpuan lain. Terbaru, pada Februari 2024 silam, ada transpuan meninggal dunia namun semua klaim tak dicairkan BPJS-TK – termasuk biaya pemakaman.
Alasan klaim jaminan kematian dan biaya pemakaman tak dibayarkan, menurut Hartoyo, karena peserta dianggap “tidak bekerja dan punya penyakit tahunan”.
Insiden yang berulang ini membahayakan transpuan peserta BPJS-TK lainnya. Sebab, ada 163 peserta BPJS-TK kelompok transpuan masih aktif, sementara kondisi kesehatan dan status pekerjaan mereka bermacam-macam.
“Mereka kelompok miskin ekstrem,” kata Hartoyo.
“Artinya ini seperti main lotre, ketika meninggal bisa saja klaim kematian tidak dibayarkan atau ditolak. Jadi seperti nunggu ‘kebaikan’ BPJS TK saja apakah akan diterima atau ditolak.
"Ini kan mengerikan sekali buat setiap peserta BPJS TK program BPU,” ujarnya kemudian.
Namun semuanya tetap ditolak. Alasannya tidak ada bukti otentik terkait keluarganya, seperti surat ahli waris dan akta kelahiran.
“Surat wasiat yang sudah dilegalisasi notaris, tidak berlaku bagi mereka,” kata Jenny saat ditemui di kantor Yayasan Kebaya di Yogyakarta.
Pada intinya, surat wasiat itu memuat pernyataan bahwa Erni Dadang menyerahkan mandat untuk pengurusan BPJS Ketenagakerjaan kepada pihak komunitas. Surat wasiat yang dibuat secara kelembagaan itu sudah memiliki legalitas hukum, menurut Jenny.
Baca juga: Cerita Para Transpuan Melawan Stigma dan Teguh Beragama
Ia merujuk pada satu pasal dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian, yang menyebut bahwa jika tak ada ahli waris yang sah, maka manfaat jaminan kematian diberikan kepada pihak yang ditunjuk dalam wasiat.
Tapi pada kenyataannya, pihak BPJS-TK tak menganggapnya sebagai bukti dan menolak mencairkan jaminan kematian Erni Dadang. BPJS-TK cuma mau mencairkan santunan kematian sebesar Rp10 juta, kata Jenny.
“Seharusnya mereka memberikan hak kami sesuai amanah UU terkait BPJS Ketenagakerjaan,” kata Jenny.
Merujuk pasal 34 Peraturan Pemerintah tentang Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, seharusnya jaminan kematian yang diterima almarhum Erni Dadang adalah Rp42 juta.
Komunitas transpuan telah melaporkan situasi yang mereka kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) – lembaga di bawah presiden yang berfungsi sebagai pengawas eksternal jaminan sosial.
Baca juga: Kisah Transpuan di Kota Semarang di Tengah Pandemi, Menepis Stigma hingga Bertahan Hidup
“Ini bukannya tidak dibayar, belum. Belum [dibayar] itu karena ada hambatan regulasi. Itu pandangan BPJS tadi,” jelas Subiyanto, Senin (17/03).
Hambatan regulasi ini, menurut Subiyanto, kemungkinan karena perbedaan persepsi terhadap suatu regulasi, kekosongan regulasi, atau regulasi yang tidak sinkron.
Subiyanto menjelaskan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015, ketentuan soal surat wasiat “cukup jelas” dan “tidak ada tafsir lain”.
Pasal 40 ayat 2 (b) PP 22 Tahun 2015 mengatur bahwa jika peserta yang meninggal tidak memiliki suami, istri dan anak, maupun kerabat, maka manfaat JKM bisa diberikan kepada “pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh pekerja.”
Baca juga: Paguyuban Sedap Malam Menghapus Stigma Negatif Transpuan
Sayangnya, surat wasiat yang ada waarmerking dianggap tidak memenuhi syarat oleh BPJS-TK. “Dispute-nya di situ,” katanya kemudian.
Waarmerking adalah akta bawah tangan yang ditandatangani sebagai bentuk kesepakatan antara pihak dan telah diketahui notaris.
Kepada BBC News Indonesia, anggota DJSN Indra Budi Sumantoro menjelaskan BPJS menolak klaim jaminan kematian dengan alasan waarmerking itu tidak kuat untuk menjadi landasan surat wasiat.
“BPJS-TK juga berpendapat harus menggunakan akta notaris. Persoalannya, tidak ada ketentuan yang mewajibkan itu harus dalam bentuk akta notaris. Jadi, inilah kemudian ada ranah abu-abu,” jelas Indra.
Pada Rabu (20/03) silam, DJSN menganjurkan BPJS-TK mencabut ketentuan pasal 218 ayat (5) Peraturan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan JKK dan JKM, “karena bertentangan dengan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan”.
Baca juga: Lawan Stigma Masyarakat, Transpuan di Semarang Ajari Anak-anak Mengaji
Pasal itu mengatur bahwa “surat wasiat dinyatakan dalam bentuk akta notaris”.
Selain anjuran mencabut aturan yang bertentangan dengan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan tersebut, DJSN juga menganjurkan agar BPJS-TK membayar klaim JKM yang diajukan komunitas transpuan.
“Berdasar regulasi yang berlaku dalam jaminan sosial ketenagakerjaan, maka BPJS Ketenagakerjaan agar membayar klaim JKM yang diajukan Komunitas Suara Kita yang menggunakan surat wasiat, baik surat wasiat di-waarmerking maupun tidak di waarmerking,” begitu bunyi surat tersebut.
BBC News Indonesia telah menghubungi Direktur Utama BPJS-TK Anggoro Eko Cahyo dan Direktur Pelayanan BPJS-TK Roswita Nilakurnia, namun hingga berita ini diterbitkan, mereka tidak memberi respons.
DJSN menganjurkan kedua pihak, yakni BPJS-TK dan komunitas Suara Kita memberikan jawaban terjadap anjuran tersebut “selambat-lambatnya” pada Rabu (27/03).