Salin Artikel

Perjuangan Transpuan Lansia Klaim Jaminan Kematian BPJS Ketenagakerjaan, Sebut Seperti Main Lotre

Di usia yang tak lagi muda, Erni memilih tinggal di Waria Crisis Center, tempat tinggal bagi transpuan yang sudah memasuki usia lanjut di Yogyakarta.

Selain dirinya, ada sejumlah waria lain yang tinggal di sana, seperti Ernawati, Lastri, Jamilah dan Erni Dadang.

Sayangnya, teman sejawatnya Erni Dadang berpulang pada pengujung 2022 silam.

Naas, klaim jaminan kematian dari BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK) yang dia miliki tak bisa dicairkan karena surat wasiatnya tak diakui. BPJS-TK hanya mencairkan biaya pemakamannya.

BPJS-TK – lembaga yang diselenggarakan pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi bagi pekerja – mensyaratkan surat wasiat dan ahli waris untuk pencairan klaim jaminan kematian.

Mengetahui realitas sulitnya mencairkan klaim jaminan kematian bagi kelompok waria yang tak memiliki ahli waris sepertinya, Erni Menyan khawatir hal yang sama akan terjadi padanya.

“Kalau kita meninggal, [jaminan kematian tidak cair] enggak ada dana, kita enggak bisa dikubur,” ujar Erni Menyan kepada wartawan Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Meninggalnya Erni Dadang tak hanya menyisakan kesedihan dan kegelisahan kelompok transpuan, tapi juga membuka realitas betapa diskriminasi dan ketidakadilan selalu mereka alami, bahkan ketika sudah meninggal dunia.

“Enggak gampang jadi waria. Saya juga enggak mau jadi waria, Tapi mau enggak mau harus saya jalani,” aku Erni Menyan.

Saat ini terdapat 163 transpuan lansia miskin peserta BPJS-TK, menurut komunitas Perkumpulan Suara Kita – organisasi yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok LGBTQI.

Tapi sayangnya, ketika meninggal dunia, klaim jaminan kematian mereka kerap ditolak pihak BPJS-TK dengan alasan tidak memiliki ahli waris atau surat wasiat tidak diakui.

Penolakan klaim kematian tak hanya dialami komunitas transpuan saja, tapi berpotensi dialami masyarakat umum yang tak memiliki ahli waris, menurut Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

“Jadi bukan hanya [dialami] transpuan. Maka dari itu yang menjadi concern kami, perlu dilakukan dengan melakukan diskresi di level peraturan,” ujar anggota DJSN, Indra Budi Sumantoro, kepada BBC News Indonesia.

Badan tersebut kini sedang memediasi pengaduan kesulitan pencairan klaim kematian transpuan peserta BPJS-TK.

Pada Rabu (20/03) DJSN mengeluarkan anjuran agar BPJS-TK mencabut regulasi yang disebut “bertentangan dengan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan” dan segera membayar jaminan kematian.

Menurut koordinator WCC, Rully Malay, Erni Dadang tercatat sebagai salah satu transpuan penerima manfaat BPJS-TK secara kolektif yang diurus komunitas transpuan.

Lantaran keanggotaannya tercatat di Jakarta, yakni BPJS Cabang Salemba, pencairan klaim jaminan kematian (JKM) BPJS-TK Erni dibantu oleh komunitas transpuan di Jakarta, Suara Kita.

Sayangnya, kata pegiat hak transpuan yang diakrab Bunda Rully, pihak BPJS-TK menolak mencairkannya. Alasannya, tidak ada ahli waris.

Padahal komunitas sudah menunjukkan surat wasiat yang dibuat Erni Dadang sebelum meninggal. Tapi sayang, klaim itu tetap ditolak.

“Sebelum itu, almarhum sudah membuat surat wasiat, dan saya ikut menandatanganinya sebagai saksi,” ujar Bunda Rully.

Ketua Suara Kita, Hartoyo, mengatakan hingga Maret 2024 ada sembilan transpuan yang meninggal dan klaim jaminan kematian mereka diajukan kepada BPJS-TK, termasuk milik Erni Dadang.

Dari jumlah tersebut hanya dua peserta yang klaim biaya pemakaman dan jaminan kematian dicairkan lantaran masih memiliki ahli waris.

Enam lainnya hanya dibayarkan biaya pemakaman sementara klaim jaminan kematian ditolak karena surat wasiat tidak diakui BPJS, atau memiliki surat wasiat tapi belum didaftarkan ke notaris.

Adapun, satu transpuan ditolak sama sekali dengan alasan tidak bekerja.

“Di antara alasan penolakan klaim kematian dari BPJS-TK, seperti tidak diakuinya surat wasiat yang dibuat oleh peserta, peserta dinilai tidak bekerja, dan dianggap memiliki penyakit menahun,” jelas Hartoyo.

“Iuran bulannya, Rp 16.800 kami dapatkan dari sumbangan dana publik,” jelas Hartoyo.

Data terakhir menunjukkan ada sekitar 170-an transpuan yang didaftarkan Suara Kita dalam apa yang disebut sebagai “program PBI komunitas”.

Pada 27 Oktober dan 28 Oktober 2022 silam, sekitar satu bulan setelah mendaftarkan sebagai peserta BPJS-TK, dua transpuan meninggal dunia – salah satunya adalah Erni Dadang.

Dijelaskan Hartoyo, keduanya membuat surat wasiat yang isinya menyerahkan dana klaim kematian digunakan untuk biaya pemakaman, sementara sisanya digunakan untuk membantu iuran peserta lainnya.

Penerima surat wasiat lembaga Suara Kita, lembaga yang mengelola program PBI komunitas ini.

“Jadi harapannya kami komunitas transpuan ini memiliki dana solidaritas komunitas, melalui dana klaim kematian itu untuk kepentingan komunitas transpuan di seluruh Indonesia,” jelas Hartoyo.

“Ini mungkin cara komunitas miskin mengakses program pemerintah untuk perlindungan sosial, khususnya untuk dana kematian,” ujarnya kemudian.

Tapi saat diajukan klaim, lanjut Hartoyo, surat wasiat itu tidak diakui oleh BPJS TK, sehingga hanya santunan kematian sebesar Rp10 juta yang dapat dicairkan.

Hal serupa dialami oleh sejumlah transpuan lain. Terbaru, pada Februari 2024 silam, ada transpuan meninggal dunia namun semua klaim tak dicairkan BPJS-TK – termasuk biaya pemakaman.

Alasan klaim jaminan kematian dan biaya pemakaman tak dibayarkan, menurut Hartoyo, karena peserta dianggap “tidak bekerja dan punya penyakit tahunan”.

Insiden yang berulang ini membahayakan transpuan peserta BPJS-TK lainnya. Sebab, ada 163 peserta BPJS-TK kelompok transpuan masih aktif, sementara kondisi kesehatan dan status pekerjaan mereka bermacam-macam.

“Mereka kelompok miskin ekstrem,” kata Hartoyo.

“Artinya ini seperti main lotre, ketika meninggal bisa saja klaim kematian tidak dibayarkan atau ditolak. Jadi seperti nunggu ‘kebaikan’ BPJS TK saja apakah akan diterima atau ditolak.

"Ini kan mengerikan sekali buat setiap peserta BPJS TK program BPU,” ujarnya kemudian.

Namun semuanya tetap ditolak. Alasannya tidak ada bukti otentik terkait keluarganya, seperti surat ahli waris dan akta kelahiran.

“Surat wasiat yang sudah dilegalisasi notaris, tidak berlaku bagi mereka,” kata Jenny saat ditemui di kantor Yayasan Kebaya di Yogyakarta.

Pada intinya, surat wasiat itu memuat pernyataan bahwa Erni Dadang menyerahkan mandat untuk pengurusan BPJS Ketenagakerjaan kepada pihak komunitas. Surat wasiat yang dibuat secara kelembagaan itu sudah memiliki legalitas hukum, menurut Jenny.

Ia merujuk pada satu pasal dalam Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian, yang menyebut bahwa jika tak ada ahli waris yang sah, maka manfaat jaminan kematian diberikan kepada pihak yang ditunjuk dalam wasiat.

Tapi pada kenyataannya, pihak BPJS-TK tak menganggapnya sebagai bukti dan menolak mencairkan jaminan kematian Erni Dadang. BPJS-TK cuma mau mencairkan santunan kematian sebesar Rp10 juta, kata Jenny.

“Seharusnya mereka memberikan hak kami sesuai amanah UU terkait BPJS Ketenagakerjaan,” kata Jenny.

Merujuk pasal 34 Peraturan Pemerintah tentang Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian, seharusnya jaminan kematian yang diterima almarhum Erni Dadang adalah Rp42 juta.

Komunitas transpuan telah melaporkan situasi yang mereka kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) – lembaga di bawah presiden yang berfungsi sebagai pengawas eksternal jaminan sosial.

“Ini bukannya tidak dibayar, belum. Belum [dibayar] itu karena ada hambatan regulasi. Itu pandangan BPJS tadi,” jelas Subiyanto, Senin (17/03).

Hambatan regulasi ini, menurut Subiyanto, kemungkinan karena perbedaan persepsi terhadap suatu regulasi, kekosongan regulasi, atau regulasi yang tidak sinkron.

Subiyanto menjelaskan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015, ketentuan soal surat wasiat “cukup jelas” dan “tidak ada tafsir lain”.

Pasal 40 ayat 2 (b) PP 22 Tahun 2015 mengatur bahwa jika peserta yang meninggal tidak memiliki suami, istri dan anak, maupun kerabat, maka manfaat JKM bisa diberikan kepada “pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh pekerja.”

Sayangnya, surat wasiat yang ada waarmerking dianggap tidak memenuhi syarat oleh BPJS-TK. “Dispute-nya di situ,” katanya kemudian.

Waarmerking adalah akta bawah tangan yang ditandatangani sebagai bentuk kesepakatan antara pihak dan telah diketahui notaris.

Kepada BBC News Indonesia, anggota DJSN Indra Budi Sumantoro menjelaskan BPJS menolak klaim jaminan kematian dengan alasan waarmerking itu tidak kuat untuk menjadi landasan surat wasiat.

“BPJS-TK juga berpendapat harus menggunakan akta notaris. Persoalannya, tidak ada ketentuan yang mewajibkan itu harus dalam bentuk akta notaris. Jadi, inilah kemudian ada ranah abu-abu,” jelas Indra.

Pada Rabu (20/03) silam, DJSN menganjurkan BPJS-TK mencabut ketentuan pasal 218 ayat (5) Peraturan Direksi BPJS Ketenagakerjaan Nomor 36 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan JKK dan JKM, “karena bertentangan dengan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan”.

Pasal itu mengatur bahwa “surat wasiat dinyatakan dalam bentuk akta notaris”.

Selain anjuran mencabut aturan yang bertentangan dengan regulasi jaminan sosial ketenagakerjaan tersebut, DJSN juga menganjurkan agar BPJS-TK membayar klaim JKM yang diajukan komunitas transpuan.

“Berdasar regulasi yang berlaku dalam jaminan sosial ketenagakerjaan, maka BPJS Ketenagakerjaan agar membayar klaim JKM yang diajukan Komunitas Suara Kita yang menggunakan surat wasiat, baik surat wasiat di-waarmerking maupun tidak di waarmerking,” begitu bunyi surat tersebut.

BBC News Indonesia telah menghubungi Direktur Utama BPJS-TK Anggoro Eko Cahyo dan Direktur Pelayanan BPJS-TK Roswita Nilakurnia, namun hingga berita ini diterbitkan, mereka tidak memberi respons.

DJSN menganjurkan kedua pihak, yakni BPJS-TK dan komunitas Suara Kita memberikan jawaban terjadap anjuran tersebut “selambat-lambatnya” pada Rabu (27/03).

Alih-alih mempersulit kelompok rentan mendapat haknya, menurut Jenny, pemerintah semestinya mempermudah pencairan jaminan kematian bagi transpuan.

“Seolah negara hanya menghitung untung dan rugi. Mentang-mentang kami kelompok rentan dan terpinggirkan, lalu klaim tidak dicairkan,” tegas Jenny.

Pendapat Jenny diamini oleh Rully Malay, yang menganggap perlakuan tidak adil itu terlihat dari cara pandang pemerintah yang mempersulit pencairan klaim dan mengesampingkan perspektif kelompok rentan.

Kerap kali, kata Rully, para transpuan menyisihkan uang yang dikumpulkan dengan susah payah demi dapat membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan, yang mereka maksudkan untuk jaminan hari tua mereka. Kondisi ekonomi yang serba sulit seperti sekarang ini, membuat uang begitu berharga bagi mereka.

“Lalu ketika proses pencairan, mengalami hambatan karena aturan main yang seperti itu,” ujar Rully.

Rully menjelaskan bahwa banyak transpuan memilih untuk hidup berpisah dengan keluarga lantaran stigma buruk yang mereka alami, belum lagi banyak anggota keluarga yang tak bisa menerima kondisi mereka.

Mereka lantas hidup bersama komunitas dan memiliki kartu keluarga sendiri, namun kebanyakan mereka tidak menikah sehingga tak memiliki ahli waris.

Kalau pemerintah masih ngotot dengan peraturan pencairan klaim JKM BPJS Ketenagakerjaan yang mewajibkan adanya ahli waris, bagi Rully, jelas tidak adil bagi para transpuan.

“Ini tidak adil bagi kepesertaan transpuan seperti kita. Orang-orang yang hidup sendiri, kemudian tidak akan bisa dicairkan [klaim JKM-nya]” ujarnya.

Anggota DJSN Indra Budi Sumantoro mengungkapkan bahwa pengaduan dari komunitas transpuan membuka kasus-kasus lain yang potensial mendapat perlakuan serupa.

Indra mencontohkan, anak tunggal yang yatim piatu dan belum menikah, ketika meninggal juga berpotensi menghadapi persoalan yang sama.

Demikian halnya pemuka agama yang selibat seperti pastor, suster, biksu dan biksuni, juga berpotensi menghadapi persoalan yang sama.

“Jadi bukan hanya transpuan. Maka dari itu menjadi concern kami, perlu dilakukan dengan diskresi di level peraturan.

Untuk menjalani kehidupan pun mereka sering mendapat diskriminasi di tengah masyarakat. Bahkan ketika meninggal pun transpuan masih diperlakukan diskriminatif dan tidak adil. Dari sinilah para transpuan menganggap perlunya memiliki BPJS-TK.

Namun untuk memiliki BPJS-TK, para transpuan dihadapkan persoalan tiadanya lapangan kerja yang memberikan fasilitas itu, menurut Ketua Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo), Kusuma Ayu.

Padahal, lanjut Ayu, BPJS-TK sangat diperlukan, mengingat transpuan banyak yang tinggal sendirian, tak punya keluarga, bekerja di jalan, dan rentan mengalami kecelakaan.

“Sakit butuh biaya, penguburan butuh biaya, dan BPJS itu sangat membantu. Tapi sayangnya kita belum bisa mengakses, belum ada tempat kerja yang menerima kita,” katanya.

Apalagi bagi para transpuan lansia yang tidak mendapat dukungan keluarga, dan tidak punya tabungan hari tua, persoalan yang sering muncul adalah saat mereka meninggal dunia.

“Banyak yang mengalami kesulitan pemakaman, dan pengurusan jenazah yang biayanya sangat tinggi,” kata Bunda.

Jenny mengaku, uang receh meskipun hanya Rp1 dari sumbangan dan donasi masyarakat sangat bermakna bagi transpuan penerima manfaat BPJS-TK.

Sumbangan ini bisa menghilangkan kesedihan dan diskriminasi bagi transpuan di masa lansia dan ketika meninggal.

“Kita ingin tidak ada lagi kesedihan bagi transpuan ketika meninggal,” katanya.

Di sebuah deretan pertokoan daerah Kotagede, Yogyakarta, Erni Menyan melenggak-lenggok dengan iringan musik dangdut koplo yang keluar dari pengeras suara kecil miliknya.

Tangannya memegang icik-icik – sejenis tamborin – sambil berharap uluran tangan pemilik toko memberi recehan untuknya bisa makan dan bertahan hidup.

Erni Menyan adalah waria asal Jawa Barat. Kala masih muda belia, dirinya gemar menonton hiburan tarling yang terkenal di daerahnya. Dia pun terpikat dan suka dandan layaknya perempuan.

“Tahun 70 saya masuk Jogja, dan sudah waria,” kata Erni.

Di Yogyakarta, beragam profesi telah dia lalui demi sesuap nasi. Mulai dari berjualan gudeg – makanan tradisional daerah tersebut – hingga menjadi pengamen dan kini tinggal di WCC.

Hasil dari mengamen, kata Erni, cukup untuk memenuhi kebutuhan makannya selama dua hari.

Erni Menyan melihat tak sedikit teman-temannya yang meninggal dunia disepelekan karena tidak memiliki uang untuk pemakaman.

Itu sebabnya, komunitas waria membuat BPJS Ketenagakerjaan secara komunal agar kelak ketika meninggal mereka bisa dikubur secara layak dan tidak didiskriminasi.

Jika dia meninggal nanti, Erni Menyan berharap klaim jaminan kematiannya bisa dicairkan sehingga bisa untuk biaya pemakamannya dan membantu kawan-kawannya sesama waria di komunitas.

Pemerintah, menurut Erni Menyan, semestinya bisa bersikap adil terhadap kelompok transpuan yang rentan dan selalu mendapat perlakuan diskriminatif.

“[Pemerintah] harus adil, harus bijaksana,” tutur Erni Menyan.

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, berkontribusi dalam liputan ini.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/30/152500978/perjuangan-transpuan-lansia-klaim-jaminan-kematian-bpjs-ketenagakerjaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke