Setelah melalui perjalanan laut penuh rintangan di tengah keputusasaan itu, para Rohingya pun belum tentu dapat menjejakkan kakinya di daratan tujuan mereka.
Berdasarkan pantauan UNHCR, tren hingga 2020 menunjukkan para Rohingya memilih kabur ke Malaysia.
Namun kini, Negeri Jiran juga sudah mulai menolak kehadiran Rohingya. Banyak Rohingya lantas memilih menempuh perjalanan ke Indonesia.
Hati Yasmin dan para pengungsi Rohingya lainnya pun hancur ketika warga Aceh ternyata juga menolak kapalnya saat hendak berlabuh. Warga Aceh sendiri sebenarnya iba melihat pengungsi Rohingya.
Mereka sebenarnya sangat terbuka ketika gelombang-gelombang pengungsi Rohingya sebelumnya membanjiri Tanah Rencong. Namun, sikap beberapa pengungsi Rohingya setelah itu dianggap tak sesuai nilai-nilai setempat.
Baca juga: Polisi Jaga 292 Pengungsi Rohingya di Kamp Penampungan Imigrasi Lhokseumawe
Meski demikian, Faisal Rahman dari UNHCR mengatakan warga sering kali salah persepsi mengenai pengungsi.
Faisal menyatakan bahwa berdasarkan hukum internasional, hak-hak dasar pengungsi juga harus dipenuhi, termasuk hak untuk bergerak.
"Ada yang keliru sebenarnya. Mereka [pengungsi] itu sebenarnya hak-haknya sama dengan warga lokal sebagai seorang manusia yang bermartabat, bahwa mereka juga bebas bergerak," ucap Faisal.
"Ketika kemudian mereka berada di luar dan ada masalah, terjadi tindakan kriminal dan segala macam, prosesnya juga proses kriminal. Misalnya, dia mencuri, diproses sesuai hukum setempat."
Faisal pun menegaskan UNHCR akan menghormati regulasi yang ditetapkan pemerintah setempat, termasuk jika otoritas ingin para pengungsi tak diperbolehkan keluar penampungan.
"Kalau dari UNHCR perspektifnya kamp ini bukan penjara. Namun, ketika pemerintah maunya demikian, ya kita hormati. Kita kembalikan ke kebijakan pemerintah," ucap Faisal.
Baca juga: Bangladesh Hentikan 58 Pengungsi Rohingya yang Ingin Berlayar ke Indonesia
Menurut Faisal, di Aceh sendiri saat ini berdiri empat tempat penampungan pengungsi Rohingya. Aturan yang diterapkan pemerintah setempat terhadap masing-masing tempat penampungan pun berbeda.
"Di Pidie tidak boleh ada pergerakan ke luar. Tidak diperbolehkan beraktivitas di luar. Itu kita hormati," kata Faisal.
"Untuk di Lhokseumawe belum ada ketetapan dari pemerintah. Untuk sementara kami minta ke pengungsi jangan dulu meminta terlalu banyak. Kita coba taati aturan yang ada. Tetap dulu di dalam kamp."
Namun, kebijakan UNHCR untuk memberikan hak asasi penuh terhadap pengungsi Rohingya ini justru menimbulkan masalah bagi Indonesia.
Kapolda Aceh, Achmad Kartiko, sampai-sampai mempertanyakan mengapa pengungsi Rohingya bisa sampai keluar dari penampungan di Bangladesh.
"Kita menemukan bahwa Rohingya ini sudah memiliki kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh dengan bahasa Bangladesh," kata Achmad.
Baca juga: Imigrasi Lhokseumawe Sebut Gedung untuk Rohingya Tak Layak Pakai
"Ini artinya apa? Ini bukan tanggung jawab pemerintah kita semata, tapi UNHCR harus memiliki tanggung jawab kenapa pengungsi itu bisa lolos dari Bangladesh sana."
Meski demikian, perwakilan UNHCR di Bangladesh, Sazzad Hossain, menegaskan bahwa penegakan hukum dan keamanan bukan tanggung jawab UNHCR, melainkan pemerintah.
"Kami mendukung otoritas Bangladesh dalam upaya memastikan keamanan di kamp, bersama rekan-rekan lokal dan internasional, kami memberikan layanan perlindungan bagi pengungsi, termasuk bantuan hukum, medis, dan konseling," tutur Hossain.
Aparat Bangladesh sendiri belakangan mulai memperketat keamanan di Cox's Bazar. AFP melaporkan bahwa kepolisian "menghentikan dan menahan 58 Rohingya" pada 25 November lalu.
Melihat dinamika ini, para pengamat pun memperingatkan pemerintah bahwa akan lebih banyak pengungsi Rohingya datang ke Indonesia.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal, mengatakan bahwa masalah ini memang tidak akan selesai jika penyebab akarnya belum dicabut, yaitu konflik berkepanjangan di Myanmar.
Sejumlah pengamat pun menyoroti peran ASEAN dan Indonesia sebagai ketua blok itu tahun ini.
Baca juga: Dalam Sepekan, 1.075 Pengungsi Rohingya Mendarat di Aceh, di Mana Peran ASEAN?
Sejak kudeta pecah di Myanmar pada 2021, ASEAN sebenarnya sudah mendesak junta militer untuk menghentikan kekerasan berdasarkan lima poin kesepakatan (Five Points Consensus/5PC) mereka.
“Militer Myanmar mulanya setuju untuk mengimplementasikan kesepakatan itu, tapi sekarang saya rasa ASEAN pun sudah benar-benar buntu. Mereka hanya mengulang-ulang kesepakatan yang sama, tapi tidak ada progres,” tutur Lewa.
Jika tidak ada mekanisme dan kesepakatan regional yang jelas untuk menangani pengungsi, Lewa khawatir negara-negara ASEAN akan kewalahan ketika krisis ini mencapai puncaknya.
Dalam posisi itu, Indonesia bisa saja menerapkan kebijakan untuk menghalau dan mengembalikan para pengungsi ke laut, seperti yang dilakukan Malaysia.
“Kalau Indonesia menerapkan itu, akan menjadi bencana. Lalu ke mana lagi mereka [Rohingya] harus berlabuh?” katanya.
Baca juga: Kisah Yasin, Pengungsi Rohingya yang Berlayar dari Coxs Bazar ke Aceh
Di tengah segala ketidakpastian ini, harapan Yasmin dan para pengungsi lainnya sangat sederhana.
"Saya ingin berdoa kepada Allah agar bisa mendapatkan tempat yang lebih luas karena tempat ini tidak memadai untuk semua orang," kata Yasmin.
"Karena mereka sudah kita terima pun, mereka tidak bersyukur. Mereka buat masalah. Enggak enak lah," ujar seorang warga Lhokseumawe, Suryani.
Suryani mengeluhkan sikap sejumlah pengungsi Rohingya yang sering "kabur" dari tempat penampungan, kemudian berbuat onar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.