Krisis air memicu kebakaran
Perempuan lain dari Desa Sinarwajo bernama Nuraini Dewi (33). Semenjak kobaran api menyala di belakang kampung dan matahari berwarna merah darah.
Anak-anak berselimut asap dan para lansia batuk sepanjang malam. Pemandangan mengerikan itu terjadi di rumah Dewi.
Para lelaki mengeluh harus bolak-balik pulang ke rumah, sementara rambatan api terus meluas.
Dewi menawarkan diri, ingin membantu pemadaman. Banyak yang menolak karena Dewi perempuan.
Tak kehabisan akal, dia menawarkan diri sebagai juru masak.
Dewi menceritakan 20 hari menderita di lokasi kebakaran. Kala berada di lokasi kebakaran matanya selalu basah, perih dan dadanya sesak.
“Mata selalu berair. Masker ganti lima kali dalam sehari,” kata Dewi.
Baca juga: Luhut Sebut Kebakaran TPA Sarimukti Mirip Kebakaran Gambut, Sulit Padam
Sepekan di dalam hutan memang Dewi bertugas sebagai juru masak. Namun, banyak lelaki tumbang, hingga harus pulang ke rumah untuk penyembuhan.
Dalam kondisi minim pasukan pemadam, angin bertiup, api menari-nari menuju tempat Dewi berdiam.
Dengan cekatan, dia dan rekannya menghidupkan mesin pompa air. Tangan mungilnya memegangi selang air dan memadamkan api yang hendak melahap dirinya.
“Itu pengalaman paling menakutkan ketika memadamkan api,” kata Dewi di rumahnya.
Usai peristiwa mengerikan itu berlalu, tahun berikutnya Dewi bergabung ke dalam masyarakat peduli api (MPA) Desa Sinarwajo.
Tugasnya berkeliling ketika musim kemarau. Lokasi pemeriksaan pertama adalah lahan warga yang berada dekat dengan hutan.
Matahari sampai merah. Jarak pandang ketika di hutan hanya 2-3 meter. Ketika angin kencang, asap tebal dan api akan muncul dari dalam gambut.
Ketika patroli pada titik-titik gambut kering, Dewi pergi ke lahan-lahan warga yang berbatasan hutan untuk melakukan sosialisasi.
Apabila lahan gambut itu kering, maka dia menasehati pemilik lahan agar tidak membuat api.
“Sejak kebakaran 2019 sampai sekarang, kita rutin patroli di musim kemarau. Minggu ini kita kembali mengadakan pertemuan, bahas pembagian jadwal patroli karena karena sudah hampir tiga hari tidak turun hujan,” kata perempuan yang sehari-hari menjadi guru di sekolah dasar.
Patroli itu biasanya satu kelompok dua orang, setiap hari dan terus tanpa henti. Untuk semua hutan dan wilayah gambut kering maka didatangi.
Awalnya berangkat menggunakan motor tetapi untuk masuk hutan harus berjalan kaki.
Pada lahan yang dijejali pinang, kopi dan sawit, Dewi berdiam lama.
Tongkatnya menusuk gambut dalam-dalam. Tak ada tanda-tanda air yang melekat pada tongkat.
Baca juga: 150 Hektare Lahan Gambut di OKI Terbakar, Petugas Kesulitan Cari Sumber Air
Dia kembali menghela napas panjang. Dia memakai masker di bawah sinar mentari yang terik.
Dengan cekatan dia menerabas kebun, meliuk di antara rimbun pohon kopi liberika.
Dia menyampaikan pesan kepada pemilik kebun, lahannya sudah mulai kekeringan.
Apabila tidak ada sumber air yang bisa diakses untuk pembasahan, kata Dewi, sebaiknya mengurangi aktivitas di kebun yang berpotensi memicu kebakaran.
Terkadang petani tidak menyadari kondisi gambut kering, maka tugasnya mengingatkan.
Keinginan kuat dari Dewi sebagai penjaga hutan, agar peristiwa kebakaran pada 2019 tidak berulang.
Secara langsung kebakaran membunuh pohon-pohon. Butuh puluhan tahun agar kembali pada kondisi semula.
Tidak hanya itu, kebakaran menyita waktu para lelaki, karena sibuk memadamkan api, sehingga terpaksa para perempuan yang mengurus kebun.
Selain itu, anak-anak dan lansia banyak menderita inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Memang tidak ada yang meninggal karena itu, tetapi seorang lelaki meninggal karena lahannya habis terbakar.
Petani itu meninggal karena gagal jantung, setelah menyaksikan tiga hektar kebun miliknya habis dilumat api dalam semalam.