Salah seorang warga di Sembulang bersaksi bahwa BP Batam hanya melakukan dua kali sosialisasi kepada warga terdampak.
"Dalam sosialisasi tersebut warga diminta untuk membawa kelengkapan dokumen yang digunakan untuk mengklasifikasikan besaran ganti rugi yang akan diterima dan mendaftarkannya pada dua tempat yang telah ditentukan, serta pemaparan pembangunan proyek Rempang Eco-City," papar Rozy.
Baca juga: Singgung soal Bentrok di Pulau Rempang, Ganjar: Mitigasi Konfliknya Kurang
Rozy melanjutkan, salah satu warga lainnya, yang memiliki lahan seluas lima hektare secara turun temurun, mengaku tidak sedikit pun ada pembicaraan mengenai ganti rugi lahan tersebut.
Sementara itu, belakangan ini, petugas BP Batam didampingi aparat disebut melakukan sosialisasi dari pintu ke pintu kepada masyarakat.
Menurut Suardi, kedatangan aparat ke rumah-rumah warga justru membuat masyarakat ketakutan dan merasa dipaksa untuk mendaftar.
"Warga memang ketakutan, khususnya di Kelurahan Sembulang. Yang jualan sudah tidak berani membuka pintu karena takut didatangi dengan brosur-brosur relokasi itu," kata Suardi.
Pegawai kelurahan dan kecamatan pun, menurutnya, turut mendukung pendataan masyarakat oleh BP Batam.
"Padahal tugas dan fungsi mereka seharusnya kan pelayanan, bukan jadi marketing perusahaan. Kalau pemerintah ada di garis lurus, tidak akan terjadi situasi ini," tuturnya.
Baca juga: Polisi Sebut Kabar Pemanggilan UAS Seusai Bentrok di Rempang Hoaks, Penyebarnya Diburu
Bias administratif itu juga disoroti oleh tim investigasi Solidaritas Nasional Untuk Rempang.
Rozy mengatakan posisi Wali Kota Batam Muhammad Rudi yang juga menjabat sebagai Kepala BP Batam "cenderung berpihak pada kelompok pemodal".
Hingga Minggu (17/9), Suardi mengatakan warga masih diliputi ketakutan karena aparat belum ditarik dari kampung-kampung mereka.
Banyak warga masih belum berani pergi mencari nafkah. Namun sebagian besar anak-anak telah mulai kembali ke sekolah sejak beberapa hari terakhir.
"Hanya yang belum datang ke sekolah itu karena mereka terdampak kemarin, ada yang pingsan, itu banyak yang belum sekolah lagi," papar Suardi.
Selain itu, warga juga masih bertahan untuk tidak meninggalkan kampung mereka, meski pemerintah menetapkan batas waktu hingga 28 September 2023.
"Tanggal 28 itu masih menjadi ketakutan yang luar biasa meskipun warga menolak. Tanggal 28 pengosongan menurut saya tidak perlu dilakukan," kata Suardi.
Baca juga: Menteri Hadi: Warga Rempang yang Setuju Direlokasi Dapat SHM, Bukan SHGB
"Kemarin saya minta kepada Polri untuk menghentikan segala bentuk pendataan dan relokasi itu karena menolak relokasi. Jangan sampai ada aksi-aksi lain yang jauh lebih mengancam keamanan masyarakat Batam," kata dia.
Suardi mengatakan masyarakat ingin "menjalin komunikasi yang baik" melalui musyawarah dan mufakat dalam merumuskan kebijakan.
Usai pertemuan dengan Komnas HAM, masyarakat berharap aspirasi mereka soal penarikan aparat dan penolakan untuk direlokasi dapat disampaikan kepada pemerintah pusat.
Atas temuan-temuan di lapangan tersebut, Solidaritas Nasional Untuk Rempang mendesak pemerintah untuk menghentikan proyek Rempang Eco City dan mencabutnya sebagai PSN.
Sementara itu, Komnas HAM diminta menggelar investigasi independen dan menetapkan kasus Rempang sebagai bentuk "pelanggaran HAM".
Baca juga: Menghormati Sejarah Pulau Rempang
Menanggapi desakan itu, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan langkah-langkah Komnas HAM akan disampaikan setelah tim mereka kembali dari Pulau Rempang.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden bidang HAM, Siti Ruhaini Dzuhayatin belum menanggapi permintaan komentar dari BBC News Indonesia hingga berita ini diterbitkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.