Dalam investigasi ini, warga Pulau Rempang bersaksi bahwa terdapat sekitar 60 kendaraan aparat yang dikerahkan menuju lokasi pematokan pada 7 September. Di antaranya adalah mobil water canon, pengurai massa, dan APC Wolf.
Pengerahan itu melibatkan 1.010 personel gabungan yang terdiri dari Polri, TNI, Satpol PP dan Ditpam BP Batam.
Apabila ditinjau dari kekuatan yang dikerahkan, Rozy mengatakan polisi "tampaknya telah memperkirakan akan terjadi bentrokan dengan warga Pulau Rempang".
Polisi juga disebut "sangat eksesif dan agresif" memukul mundur massa dengan water canon dan gas air mata.
Dikonfirmasi terpisah, Polda Riau menyatakan hal itu dilakukan karena warga telah berhari-hari memblokade jalan Trans Balerang, yang merupakan jalur penghubung antar-pulau, termasuk untuk aktivitas ekonomi dan pariwisata.
"Mereka menduduki di situ bukan satu malam, tapi mulai pertengahan Agustus mereka sudah melakukan sweeping, kami mau sosialisasi diusir," kata Pandra.
Baca juga: Kepada Bahlil, Ketua Keramat Minta Warga Pulau Rempang yang Ditahan Dibebaskan Tanpa Syarat
Pasca-insiden pada 7 September 2023, aparat gabungan membentuk posko-posko di Pulau Rempang, hingga di tengah perkampungan warga.
Tim investigasi Solidaritas Nasional Untuk Rempang menemukan ada lima posko di Jembatan IV, Simpang Cate, Sungai Buluh Simpang Sembulang, Simpang Rezeki, dan Kantor Kecamatan Galang.
Mereka mengidentifikasi ada sekitar 20 hingga 30 aparat gabungan di masing-masing posko.
Posko yang tadinya didirikan masyarakat untuk menolak kehadiran petugas BP Batam pun telah beralih menjadi posko milik aparat gabungan.
Hal senada juga dibenarkan oleh Juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi yang dihubungi BBC News Indonesia secara terpisah.
Baca juga: Bahlil soal Pulau Rempang: Tidak Ada yang Direlokasi, Hanya Geser ke Kampung Lain
Suardi mengatakan masyarakat masih berharap seluruh personel Polri dan TNI ditarik dari Pulau Rempang. Hal itu juga mereka sampaikan ketika berdialog dengan Komnas HAM pada Sabtu (16/9).
"Mereka [aparat] bangun tenda-tenda. Sekarang sudah di dalam kampung," kata Suardi.
Dikonfirmasi terkait posko-posko aparat, Pandra mengatakan bahwa "sudah tidak ada posko-posko keamanan".
"Sekarang ini yang ada adalah posko pendaftaran untuk mendaftarkan secara sukarela untuk memilih tempat yang nantinya benar-benar mereka pilih," kata Pandra.
Terkait keterlibatan aparat dalam sosialisasi relokasi dan posko pendaftaran, yang semestinya menjadi kewenangan BP Batam, Pandra mengatakan, "Itu kan tim terpadu, tentu harus dijaga keamanannya dalam mendukung apa yang menjadi komitmen pemerintah".
Baca juga: Menteri Bahlil Tegaskan Makam Leluhur di Pulau Rempang Tak Akan Dibongkar
"Mereka takut sewaktu-waktu anak istrinya dijemput dan direlokasi, itu menyebabkan mereka berhenti melaut," kata Rozy.
Fakta serupa juga tergambar dalam liputan BBC News Indonesia yang diterbitkan pada 13 September 2023.
Warga Kampung Tanjung Banon, Sobirin, 43, mengaku tak bisa melaut karena khawatir tanahnya dipatok oleh petugas dari BP Batam.
Suardi dari KERAMAT mengatakan aktivitas warga telah terganggu sejak tiga bulan yang lalu. Sebagian warga bahkan sampai berhutang demi bertahan hidup.
"Kalau ada yang keluarganya rezekinya banyak, mereka berhutang untuk beli beras," tutur Suardi.
Baca juga: Sayangkan Bentrokan di Pulau Rempang, Cak Imin: Investasi Tak Boleh Rugikan Masyarakat
Situasi ini juga membuat aktivitas pariwisata di Pulau Rempang sepi pengunjung.
"Ini sudah berpengaruh pada pelaku usaha kecil. Tidak sedikit juga masyarakat Rempang Galang berpenghasilan dari sana [pariwisata]. Kericuhan dan kehadiran aparat mungkin membuat pengunjung ragu terkait keamanan," kata Suardi.
Menurut Rozy, sosialisasi yang dilakukan BP Batam terkait relokasi warga dilakukan "searah dan tidak partisipatif". Itu karena BP Batam dinilai warga hanya memaparkan program relokasi tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat.