Misalnya dengan secara kolektif dan konsisten menggunakan botol minum isi ulang seperti tumbler, memakai bungkus makanan dari daun serta membawa tas saat berbelanja, menghindari penggunaan kantong plastik.
Untuk mengurangi penggunaan plastik di kepulauan Maluku, mestinya bisa diinisiasi satu gerakan yang didukung dengan peraturan untuk menggunakan tas dan kantong dengan bahan alami, seperti Noken dari Papua atau Kamboti dengan design yang lebih praktis dan enak ditenteng.
Kamboti adalah wadah dari anyaman daun kelapa khas kepulauan Maluku. Selain unik dan ramah lingkungan, penggunaan Kamboti secara luas dapat meningkatkan pendapatan pengrajin, apalagi bila dijadikan cinderamata atau suvenir para turis.
Ide semacam ini dapat diaktualisasikan dengan masif dan signifikan bila ada campur tangan serta peran dari pemerintah. Atau dengan kata lain, dalam soal ini pemerintah terutama di daerah mestinya berada di garda terdepan.
Terkait regulasi, misalnya, pemerintah daerah di kepulauan Maluku, pun daerah lain di Tanah Air, bisa mencontoh apa yang sejauh ini telah dilakukan di Bali oleh Walikota Denpasar dan Gubernur Bali, yang sejak 2018 lalu telah menetapkan aturan sebagai pijakan pengurangan sampah plastik.
Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Peraturan Gubernur (Pergub) Bali bahasannya cukup ambisius dengan tujuan mengurangi limbah Plastik Sekali Pakai (PSP) dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.
PSP adalah segala bentuk alat atau bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric untuk sekali pakai.
Ada tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub tersebut, yakni kantong plastik, polistirena atau styrofoam, dan sedotan plastik. Juga mewajibkan setiap orang dan lembaga, seperti pemasok, distributor, produsen, penjual harus menyediakan pengganti atau substitusi PSP.
Termasuk pula melarang peredaran, distribusi dan penyediaan PSP oleh masyarakat dan pelaku usaha.
Selain komitmen dari pemerintah, seperti yang ditunjukan oleh pemerintah daerah di Bali, masyarakat sipil juga bisa mengambil bagian penting.
Sudah saatnya semua kelompok tercerahkan berdiri paling depan, mengajak dan memberikan edukasi kepada masyarakat, sehingga tidak lagi membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik.
Begitu pula dengan inisiatif warga yang telah berhasil dilakukan bisa segera diduplikasi oleh komponen masyarakat lainnya, lalu dijalankan dengan konsisten dan sungguh-sungguh, bukan sekadar panjat sosial.
Misalnya oleh Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM) Lease, yang tercatat telah menjadikan sampah sebagai isu utama pelayanan.
Mereka juga kerjasama dengan sejumlah stakeholders, termasuk dengan perguruan tinggi dalam memberikan edukasi melalui sekolah-sekolah dan jemaat-jemaat.