Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Solusi Sampah Plastik yang Mengkhawatirkan di Maluku Raya

Kompas.com - 30/08/2023, 16:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERILAKU membuang sampah sembarangan oleh warga juga industri, dan belum adanya sarana serta mekanisme pengolahan atau daur ulang sampah yang memadai, membuat probabilitas terbuangnya sampah ke laut di kepulauan Maluku makin tinggi.

Faktanya, laut di kepulauan Maluku semakin tercemar. Sebagai contoh, baru-baru ini, 5 Agustus 2023, Kapal Cepat Cantika 88 yang mengangkut ratusan penumpang dari Masohi di Pulau Seram tujuan Pelabuhan Tulehu di Pulau Ambon, alami gangguan akibat sampah plastik yang melilit baling-baling mesin kapal.

Selain sampah yang mengapung, saat ini dengan mudah disaksikan, pantai-pantai yang indah di berbagai pulau di Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) terlihat kotor oleh berbagai jenis sampah yang berserakan, terutama sampah plastik.

Sebabnya jelas, intensitas dan volume sampah plastik di laut yang kian mengkhawatirkan. Sesuatu yang wajar, pasalnya saban hari masyarakat tanpa rasa bersalah membuang sampah di pantai atau laut, di banyak tempat di kepulauan Maluku.

Banyak pihak tentu bertanggung jawab akan kondisi ini. Selain masih minimnya kesadaran masyarakat, yang menjadi persoalan penting dan mendasar adalah kurang tanggap dan tidak cakapnya pemerintah di daerah. Semua terkesan acuh, apatis dan masa bodoh.

Belum tersedianya fasilitas pembuangan sampah yang memadai, kurangnya penyuluhan atau program serta regulasi yang bisa mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat, adalah realitas yang menunjukan bahwa pemerintah, termasuk organisasi masyarakat sipil masih lalai atau tak hadir dalam menyikapi persoalan lingkungan ini.

Belum banyak yang melihat sampah, utamanya plastik sebagai persoalan besar, atau mau menjadikan isu persampahan sebagai agenda prioritas, meski memiliki dampak luas terhadap ekosistem di laut dan pulau, seperti yang saya tulis di kolom ini dalam artikel “Peringatan Hari Laut Sedunia Bagi Kepulauan Maluku” (9 Juni 2023).

Padahal bila ditelisik, kebiasaan membuang sampah ke pantai atau laut sejatinya adalah hal lumrah di kalangan masyarakat di kepulauan Maluku sejak lama.

Namun dahulu bukan menjadi satu persoalan besar, ketika plastik belum dominan. Sebab yang dibuang lebih banyak sampah organik, seperti daun-daunan dan ranting kayu yang gampang diurai alam.

Kondisi kini berbeda. Saat ini plastik mendominasi sampah rumah tangga. Selain penting dalam kehidupan manusia, proses pembuatannya mudah, murah, sifatnya yang gampang dibentuk dan tahan lama, kegunaannya yang banyak, dari bungkus permen, hingga komponen pesawat terbang.

Meski begitu, di balik keunggulannya, plastik punya efek samping yang besar bagi lingkungan karena sulit terurai secara alami.

Keni Vidilaseris, peneliti di Departemen Biokimia, Universitas Helsinki, menyebutkan bahwa dibutuhkan waktu sekitar 500 sampai 1.000 tahun agar plastik bisa terurai di alam.

Menjadi wajar kemudian mengapa sampah plastik menjadi ancaman serius bagi ekologi dan lingkungan hidup. Karena itu pula di berbagai tempat, terutama di negara-negara maju, upaya penanggulangan sampah plastik menjadi satu prioritas.

Di Indonesia, sekalipun belum signifikan, sejumlah upaya penanggulangan sampah plastik telah dilakukan. Seperti mengadakan bank sampah untuk memudahkan aktivitas pengumpulan sampah plastik, membuat kerajinan berbahan sampah plastik, hingga daur ulang plastik dalam berbagai produk.

Selain itu, yang perlu terus dilakukan adalah mendorong kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, juga meminimalkan penggunaan plastik.

Misalnya dengan secara kolektif dan konsisten menggunakan botol minum isi ulang seperti tumbler, memakai bungkus makanan dari daun serta membawa tas saat berbelanja, menghindari penggunaan kantong plastik.

Untuk mengurangi penggunaan plastik di kepulauan Maluku, mestinya bisa diinisiasi satu gerakan yang didukung dengan peraturan untuk menggunakan tas dan kantong dengan bahan alami, seperti Noken dari Papua atau Kamboti dengan design yang lebih praktis dan enak ditenteng.

Kamboti adalah wadah dari anyaman daun kelapa khas kepulauan Maluku. Selain unik dan ramah lingkungan, penggunaan Kamboti secara luas dapat meningkatkan pendapatan pengrajin, apalagi bila dijadikan cinderamata atau suvenir para turis.

Ide semacam ini dapat diaktualisasikan dengan masif dan signifikan bila ada campur tangan serta peran dari pemerintah. Atau dengan kata lain, dalam soal ini pemerintah terutama di daerah mestinya berada di garda terdepan.

Terkait regulasi, misalnya, pemerintah daerah di kepulauan Maluku, pun daerah lain di Tanah Air, bisa mencontoh apa yang sejauh ini telah dilakukan di Bali oleh Walikota Denpasar dan Gubernur Bali, yang sejak 2018 lalu telah menetapkan aturan sebagai pijakan pengurangan sampah plastik.

Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Walikota Denpasar No.36/2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik dan Peraturan Gubernur Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.

Peraturan Gubernur (Pergub) Bali bahasannya cukup ambisius dengan tujuan mengurangi limbah Plastik Sekali Pakai (PSP) dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.

PSP adalah segala bentuk alat atau bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric untuk sekali pakai.

Ada tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub tersebut, yakni kantong plastik, polistirena atau styrofoam, dan sedotan plastik. Juga mewajibkan setiap orang dan lembaga, seperti pemasok, distributor, produsen, penjual harus menyediakan pengganti atau substitusi PSP.

Termasuk pula melarang peredaran, distribusi dan penyediaan PSP oleh masyarakat dan pelaku usaha.

Selain komitmen dari pemerintah, seperti yang ditunjukan oleh pemerintah daerah di Bali, masyarakat sipil juga bisa mengambil bagian penting.

Sudah saatnya semua kelompok tercerahkan berdiri paling depan, mengajak dan memberikan edukasi kepada masyarakat, sehingga tidak lagi membuang sampah sembarangan, terutama sampah plastik.

Begitu pula dengan inisiatif warga yang telah berhasil dilakukan bisa segera diduplikasi oleh komponen masyarakat lainnya, lalu dijalankan dengan konsisten dan sungguh-sungguh, bukan sekadar panjat sosial.

Misalnya oleh Klasis Gereja Protestan Maluku (GPM) Lease, yang tercatat telah menjadikan sampah sebagai isu utama pelayanan.

Mereka juga kerjasama dengan sejumlah stakeholders, termasuk dengan perguruan tinggi dalam memberikan edukasi melalui sekolah-sekolah dan jemaat-jemaat.

Upaya yang belakangan mulai terlihat hasilnya, ditandai dari evaluasi yang dilakukan, distribusi air mineral kemasan khususnya ke Saparua menurun drastis karena tingkat permintaan yang rendah.

Ini terjadi karena gereja menganjurkan agar semua even gerejawi tidak lagi menggunakan minuman kemasan.

Sehingga bila inisiatif serta upaya dari Klasis GPM Lease ini mau diduplikasi, ditambah inovasi lainnya yang relevan, terutama atau dimulai oleh lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, institusi pemerintah dan swasta, termasuk organisasi masyarakat sipil, pengaruhnya pasti signifikan.

Itu artinya, bila pemerintah di daerah mau bersungguh-sungguh. Termasuk mencontoh daerah lain yang sukses mengendalikan dan mengelola sampah, serta masyarakat sipil mau bergerak bersama mengurangi penggunaan plastik, memilah sampah sesuai jenis, dan melakukan edukasi guna meningkatkan kesadaran bersama, ada harapan sampah plastik bisa dikendalikan dan diminimalkan.

Karena jika situasi tetap dibiarkan seperti ini, tidak ada kemauan atau upaya apapun, yang terlihat hanyalah apatisme dan masa bodoh, lambat-laun ‘surga’ berupa alam yang indah seperti yang ada di kepulauan Maluku akan semakin rusak dan binasa, bahkan menjadi ‘neraka’ bagi ekosistemnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com