Seiring berjalannya waktu, muncul jalur-jalur yang mulai berhias dengan diberi ukiran indah, serta dilengkapi dengan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), dan lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).
Hal tersebut membuat jalur tak hanya dilihat sebagai alat angkut, namun memiliki fungsi sebagai penanda identitas sosial karena hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu.
Baru pada 100 tahun kemudian, mulai digelar acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.
Awalnya pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam.
Pada zaman penjajahan Belanda, Pacu Jalur dibuat untuk merayakan hari jadi Ratu Wilhelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus.
Setelah Indonesia merdeka, tradisi Pacu Jalur dilaksanakan untuk merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia yang juga jatuh di bulan Agustus.
Ajang lomba mendayung ini akan dimulai dengan tanda terdengarnya dentuman meriam karbit sebanyak tiga kali.
Meriam karbit ini sengaja digunakan agar para peserta Pacu Jalur bisa mendengar jelas aba-aba dari panitia, karena luasnya lokasi lomba dan riuhnya suara para penonton.
Dentuman pertama sebagai tanda untuk jalur-jalur menempatkan diri, dentuman kedua untuk posisi bersiap mengayuh dayung, dan dentuman ketiga untuk memulai perlombaan.
Pada tiap jalur akan memuat 50-60 orang sebagai anak pacu tergantung dari panjang perahu yang mengikuti kompetisi.
Anak pacu dalam tiap jalur akan dibagi tugasnya sebagai tukang concang yaitu komandan atau pemberi aba-aba, tukang pinggang atau juru mudi, dan tukang onjai yang pemberi irama di bagian kemudi dengan cara menggoyang-goyangkan badan.
Ada juga tukang tari yang membantu tukang onjai dalam memberi tekanan yang seimbang agar jalur dapat berjungkat-jungkit secara teratur dan berirama.
Pacu Jalur juga memiliki wasit dan juri yang memandu jalannya perlombaan dan menentukan siapa yang menjadi pemenang.
Konon, pemenang Pacu Jalur tidak ditentukan oleh jumlah atau kekuatan pendayung namun terdapat sisi magis dari kayu yang dijadikan jalur serta kemampuan pawang dalam mengendalikan jalur.
Sumber:
infopublik.id
kotajalur.kuansing.go.id
warisanbudaya.kemdikbud.go.id
pariwisata.riau.go.id
mediacenter.riau.go.id