KOMPAS.com-Sekitar 1.500 warga Nagari Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatra Barat, menentang rencana pembangunan kawasan industri petrokimia yang diusulkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Mereka khawatir kehilangan lahan yang menjadi sumber nafkah selama puluhan tahun.
Aksi penolakan selama hampir sepekan di Kota Padang berujung pemulangan paksa ribuan orang dan penangkapan belasan orang oleh aparat.
Sementara dalam rumah mereka di Nagari Air Bangis, salah satu warga mengaku kepada BBC News Indonesia bahwa dirinya “tak merasa aman” karena “ada intimidasi dan tekanan dari aparat”.
Baca juga: 16 Jam Terombang-ambing di Laut, 6 Korban Hilang Kapal Tenggelam di Air Bangis Ditemukan Selamat
Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi menyebutkan, rencana investasi itu sebagai “kontribusi daerah” bagi negara yang akan “menyerap puluhan tenaga kerja”.
Di lokasi itu rencananya akan dibangun kawasan industri yang mencakup kilang minyak, petrokimia, pesawat terbang, smelter nikel, dan lain-lain.
Namun pegiat HAM dan lingkungan menilai sikap pemerintah sejauh ini seolah mengabaikan nasib ribuan masyarakat yang terancam kehilangan ruang hidupnya.
“Masyarakat diposisikan sebagai penjahat dan mereka dihukum, tapi di sisi lain pemerintah memfasilitasi investasi di kawasan yang sama, yang pengelolaannya tumpang tindih dengan ruang hidup masyarakat,” kata Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Padang, Wengki Purwanto.
Sikap pemerintah ini, kata Wengki, menambah panjang riwayat konflik agraria di mana masyarakat yang dianggap mengelola lahan secara “ilegal” tak berdaya di hadapan kepentingan investasi.
“Baru sebatas usulan PSN saja pemerintah sudah memberlakukan masyarakat seperti ini, sudah seperti harga mati. Padahal belum tentu juga jadi PSN,” tuturnya.
Baca juga: Murid SD Maki dan Tendang Pintu Kelas di Sumbar, Guru yang Minta Maaf dan Klarifikasi, Ini Faktanya
Setidaknya 1.500 warga Nagari Air Bangis, Sumatra Barat berunjuk rasa di Kota Padang untuk menolak usulan Proyek Strategis Nasional (PSN) di daerah mereka.
Suriadi (37), salah satu warga yang turut serta dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumatra Barat sejak Senin (31/7/2023).
Dia dan ribuan warga lainnya menempuh perjalanan delapan jam dari Nagari Air Bangis ke Kota Padang. Dia berharap dapat berdialog dengan Gubernur Mahyeldi terkait usulan PSN itu.
Suriadi bahkan datang bersama istrinya yang sedang hamil delapan bulan serta ketiga anak mereka.
“Saya sempat bilang ke mereka [anak dan istri] untuk tinggal saja di rumah. Tapi mereka tidak mau, katanya, ‘kami merasa tak aman di rumah’,” tutur Suriadi kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Aksi unjuk rasa ini dilatari oleh keresahan warga atas sejumlah hal.
Proyek yang rencananya dibangun di lahan seluas 30.162 hektar itu “tumpang tindih” dengan lahan perkebunan yang mereka kelola secara turun temurun selama puluhan tahun.
Masyarakat mengklaim baru mengetahui dalam beberapa tahun terakhir lahan yang mereka kelola ternyata masuk dalam kawasan hutan produksi.
Baca juga: Rp 8,3 Miliar Dana APBD Digelontorkan untuk Perindah Masjid Raya Sumbar
Itu membuat mereka terancam pidana kehutanan ketika menggarap lahan tersebut.
Menurut catatan Walhi, sebagian dari lahan masyarakat telah dikembalikan ke negara karena "khawatir dengan ancaman pidana kehutanan". Sebagian juga dikelola oleh Koperasi Sumber Usaha (KSU) Air Bangis.
Sebagai pemegang izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK), KSU Air Bangis meminta masyarakat menyerahkan lahan perkebunan mereka atau bergabung dengan koperasi ini sebagai tempat menyalurkan hasil panen mereka.
Operasional KSU Air Bangis ini yang menurut Walhi "dikawal oleh Brimob" dan membuat masyarakat merasa terintimidasi.
Beberapa warga ditangkap polisi dan dipidana karena menjual sawit ke pihak lain di luar KSU Air Bangis.
Dalam unjuk rasa di Kota Padang, warga juga menuntut agar mereka dibebaskan dan Polda Sumatra Barat menarik personel Brimob dari kampung mereka.
“Kami sudah tahu mereka menginginkan lahan kami, jadi banyak tekanan dan intimidasi terhadap kami,” tutur Suriadi.