Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penolakan Proyek Strategis Nasional Berujung Warga Air Bangis Diusir dari Kantor Gubernur Sumbar

Kompas.com - 07/08/2023, 16:24 WIB
Teuku Muhammad Valdy Arief

Editor

KOMPAS.com-Sekitar 1.500 warga Nagari Air Bangis, Pasaman Barat, Sumatra Barat, menentang rencana pembangunan kawasan industri petrokimia yang diusulkan menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN). Mereka khawatir kehilangan lahan yang menjadi sumber nafkah selama puluhan tahun.

Aksi penolakan selama hampir sepekan di Kota Padang berujung pemulangan paksa ribuan orang dan penangkapan belasan orang oleh aparat.

Sementara dalam rumah mereka di Nagari Air Bangis, salah satu warga mengaku kepada BBC News Indonesia bahwa dirinya “tak merasa aman” karena “ada intimidasi dan tekanan dari aparat”.

Baca juga: 16 Jam Terombang-ambing di Laut, 6 Korban Hilang Kapal Tenggelam di Air Bangis Ditemukan Selamat

Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi menyebutkan, rencana investasi itu sebagai “kontribusi daerah” bagi negara yang akan “menyerap puluhan tenaga kerja”.

Di lokasi itu rencananya akan dibangun kawasan industri yang mencakup kilang minyak, petrokimia, pesawat terbang, smelter nikel, dan lain-lain.

Namun pegiat HAM dan lingkungan menilai sikap pemerintah sejauh ini seolah mengabaikan nasib ribuan masyarakat yang terancam kehilangan ruang hidupnya.

“Masyarakat diposisikan sebagai penjahat dan mereka dihukum, tapi di sisi lain pemerintah memfasilitasi investasi di kawasan yang sama, yang pengelolaannya tumpang tindih dengan ruang hidup masyarakat,” kata Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Padang, Wengki Purwanto.

Sikap pemerintah ini, kata Wengki, menambah panjang riwayat konflik agraria di mana masyarakat yang dianggap mengelola lahan secara “ilegal” tak berdaya di hadapan kepentingan investasi.

“Baru sebatas usulan PSN saja pemerintah sudah memberlakukan masyarakat seperti ini, sudah seperti harga mati. Padahal belum tentu juga jadi PSN,” tuturnya. 

Baca juga: Murid SD Maki dan Tendang Pintu Kelas di Sumbar, Guru yang Minta Maaf dan Klarifikasi, Ini Faktanya

Setidaknya 1.500 warga Nagari Air Bangis, Sumatra Barat berunjuk rasa di Kota Padang untuk menolak usulan Proyek Strategis Nasional (PSN) di daerah mereka.ANTARA FOTO Setidaknya 1.500 warga Nagari Air Bangis, Sumatra Barat berunjuk rasa di Kota Padang untuk menolak usulan Proyek Strategis Nasional (PSN) di daerah mereka.
'Kami merasa tak aman'

Suriadi (37), salah satu warga yang turut serta dalam aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sumatra Barat sejak Senin (31/7/2023).

Dia dan ribuan warga lainnya menempuh perjalanan delapan jam dari Nagari Air Bangis ke Kota Padang. Dia berharap dapat berdialog dengan Gubernur Mahyeldi terkait usulan PSN itu.

Suriadi bahkan datang bersama istrinya yang sedang hamil delapan bulan serta ketiga anak mereka.

“Saya sempat bilang ke mereka [anak dan istri] untuk tinggal saja di rumah. Tapi mereka tidak mau, katanya, ‘kami merasa tak aman di rumah’,” tutur Suriadi kepada wartawan Halbert Chaniago yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Aksi unjuk rasa ini dilatari oleh keresahan warga atas sejumlah hal.

Proyek yang rencananya dibangun di lahan seluas 30.162 hektar itu “tumpang tindih” dengan lahan perkebunan yang mereka kelola secara turun temurun selama puluhan tahun.

Masyarakat mengklaim baru mengetahui dalam beberapa tahun terakhir lahan yang mereka kelola ternyata masuk dalam kawasan hutan produksi.

Baca juga: Rp 8,3 Miliar Dana APBD Digelontorkan untuk Perindah Masjid Raya Sumbar

Itu membuat mereka terancam pidana kehutanan ketika menggarap lahan tersebut.

Menurut catatan Walhi, sebagian dari lahan masyarakat telah dikembalikan ke negara karena "khawatir dengan ancaman pidana kehutanan". Sebagian juga dikelola oleh Koperasi Sumber Usaha (KSU) Air Bangis.

Sebagai pemegang izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK), KSU Air Bangis meminta masyarakat menyerahkan lahan perkebunan mereka atau bergabung dengan koperasi ini sebagai tempat menyalurkan hasil panen mereka.

Operasional KSU Air Bangis ini yang menurut Walhi "dikawal oleh Brimob" dan membuat masyarakat merasa terintimidasi.

Beberapa warga ditangkap polisi dan dipidana karena menjual sawit ke pihak lain di luar KSU Air Bangis.

Dalam unjuk rasa di Kota Padang, warga juga menuntut agar mereka dibebaskan dan Polda Sumatra Barat menarik personel Brimob dari kampung mereka.

“Kami sudah tahu mereka menginginkan lahan kami, jadi banyak tekanan dan intimidasi terhadap kami,” tutur Suriadi.

 

Sebagai petani sawit yang hidup dari lahan yang dikelolanya, Suriadi mengaku khawatir dengan usulan pemerintah untuk membangun PSN.

“Kalau PSN itu terjadi, entah bagaimana nasib kami. Yang jelas masyarakat seperti kami akan sengsara, semua lahan yang kami kelola akan diambil semua oleh mereka,” katanya.

“Kami masyarakat berkebun di hutan kawasan, enggak punya surat izin yang kuat, legalitas yang kuat. Hanya modal tenaga membangun kebun tersebut dari izin ninik mamak (pemuka adat),” ujar Suriadi, yang juga mengatakan bahwa warga telah mengelola lahan itu secara turun temurun selama puluhan tahun.

Baca juga: Jenazah Lansia Ditemukan Tewas di Tengah Perkebunan Sawit Pulau Sebatik, Diduga Dibunuh Anak Kandung

Ketika dikonfirmasi terkait tuduhan intimidasi itu, Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Barat Komisaris Besar Dwi Sulistyawan mengatakan kehadiran Brimob adalah "untuk menjaga kondusivitas situasi".

"Yang merasa terintimidasi dengan adanya aparat di sana tentu mereka yang melanggar aturan. Aparat enggak ngapa-ngapain kok, cuma jaga-jaga saja," kata Sulistyawan.

Namun pernyataan itu berbeda dengan laporan yang diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang.

“Ada Brimob yang sweeping, ada Brimob yang menyita handphone warga secara ilegal, bagaimana mereka bisa merasa aman?” kata Ketua LBH Padang, Indira Suryani.

‘Pemulangan paksa’ dan ‘penangkapan sewenang-wenang’

Unjuk rasa warga berlanjut selama berhari-hari lantaran belum berhasil berdialog dengan Gubernur Mahyeldi.

Baru pada Kamis (3/8/2023) subuh, Mahyeldi menyambangi warga yang menginap di Masjid Raya Sumatra Barat.

Namun kunjungan Mahyeldi itu tidak cukup memuaskan bagi warga yang merasa aspirasinya belum tersampaikan.

Menanggapi hal itu, Kepala Biro Administrasi Sekretariat Daerah Sumatra Barat, Mursalim mengklaim mediasi “sudah dilakukan”.

“Mereka (massa) memaksa gubernur untuk menandatangani kesepakatan, mana bisa gubernur tanda tangan. Untuk penyelesaiannya, gubernur akan hadir nanti ke Pasaman Barat,” kata Mursalim ketika dikonfirmasi.

Baca juga: Edy Rahmayadi Heran Ada Diskotek di Kebun Sawit Langkat, Janji Akan Tutup

Massa yang bertahan hingga Sabtu (5/8/2023) akhirnya kembali ke Pasaman Barat, setelah “dipulangkan secara paksa”. Upaya aparat itu sempat memicu kericuhan di Masjid Raya Sumbar, tempat di mana warga menginap.

Indira Suryani mengatakan dalam peristiwa itu, 18 orang “diamankan” oleh polisi tanpa status hukum yang jelas.

Mereka terdiri dari tujuh pendamping dari LBH, satu orang dari Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), enam warga, serta empat mahasiswa.

“Mereka juga sempat mengalami kekerasan saat dibawa ke Polda Sumbar,” kata Indira.

Ke-18 orang itu akhirnya dipulangkan oleh polisi pada Minggu sore.

Polisi beralasan belasan orang itu "diamankan" karena “menghalang-halangai pemulangan warga”.

Sementara pemulangan warga, kata Sulistyawan, dilakukan karena “unjuk rasa itu mengganggu ketertiban masyarakat”.

“Masyarakat merasa terganggu, banyak yang mau ke rumah sakit, susah aksesnya. Banyak yang mau ke pasar, ke sekolah, susah aksesnya,” kata Sulistyawan.

Empat orang jurnalis turut mengalami kekerasan dan intimidasi oleh aparat ketika meliput peristiwa tersebut.

Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi RSUD Pasaman Barat, Bukti Chat Ancaman Sekda ke Direktur Diungkap

Penangkapan dan intimidasi itu dikecam oleh sejumlah lembaga, termasuk LBH hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tindakan polisi disebut "telah menyalahgunakan wewenang" dan "melanggar jaminan kebebasan berpendapat".

LBH Padang juga menyayangkan sikap Gubernur Mahyeldi yang terkesan "membiarkan aksi warga berlarut-larut".

'Ribuan masyarakat itu mau diapakan?'

Salah satu poin "paling mengkhawatirkan" yang disorot LBH dan Walhi adalah pernyataan Gubernur Mahyeldi bahwa kawasan yang diusulkan untuk PSN ini "clean and clear".

Pernyataan itu tertera dalam surat usulan PSN kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi yang dikirimkan gubernur pada 2021.

Temuan LBH Padang menunjukkan sebaliknya. Lahan seluas 30.162 hektare ini merupakan lahan budidaya pertanian masyarakat di puluhan jorong (dusun) dengan jumlah penduduk sekitar 45.000 jiwa.

"Bentuk penguasaan warga di area itu adalah dengan berladang sawit. Jadi menurut kami, surat yang dikirimkan gubernur dan menyebut bahwa lahan itu clean and clear kuat dugaan kami bahwa itu mengandung informasi yang tidak benar, keliru, dan sesat," kata Indira.

LBH khawatir masyarakat yang hidup di kawasan ini akan semakin rentan dan terdampak apabila proyek ini benar-benar masuk ke dalam PSN.

"Karena sejak Omnibus Law [Undang-Undang Cipta Kerja], PSN itu menjadi proyek yang paling powerful dan berpotensi mencerabut hak-hak masyarakat."

"Tentu situasi itu tidak akan menguntungkan bagi warga, tapi semestinya pemerintah juga menjamin ruang hidup dan hak ekonomi sosial warga," tuturnya.

Sementara itu menurut Walhi, pemerintah disebut kerap menggunakan "kaca mata kuda" untuk mengatasi tumpang tindih pengelolaan lahan semacam ini.

Aktivitas masyarakat yang dianggap "ilegal" berdasarkan status kawasan hutan telah pada berujung pemidanaan.

Baca juga: Ambulans Dinkes Padang Sidempuan Tabrak Pohon di Pasaman, Sopir dan Pasien Tewas

Sementara di sisi lain, pemerintah, kata Wengki, "dengan mudahnya memberikan izin pengelolaan kepada korporasi".

"Rencana investasi ini yang luar biasa ini tidak pernah dibicarakan secara jelas kepada masyarakat yang terdampak langsung," ujarnya.

"Enggak mungkin nasib ribuan orang itu diselesaikan dengan pasal pengrusakan hutan hanya karena alasan itu kawasan hutan. Masa masyarakat mau digeser saja? Digeser ke mana?" kata Wengki.

Pasca kericuhan yang terjadi di Padang, Walhi pun mendesak agar Pemerintah Provinsi Sumatra Barat, DPRD, dan masyarakat segera berdialog untuk mencari jalan tengah.

"Harus jelas ribuan masyarakat ini mau dikemanakan? Kalau mau dipenjarakan, penjarakan saja semua beserta pabrik-pabrik kelapa sawit dan perusahaan yang beroperasi di sana," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hinca Pandjaitan Laporkan Dugaan Korupsi di Pertamina Hulu Rokan ke Kejati Riau

Hinca Pandjaitan Laporkan Dugaan Korupsi di Pertamina Hulu Rokan ke Kejati Riau

Regional
Mengenal Suntiang, Hiasan Kepala Pengantin Wanita Minang

Mengenal Suntiang, Hiasan Kepala Pengantin Wanita Minang

Regional
Marshel Widianto Maju di Pilkada Tangsel agar Petahana Tak Lawan Kotak Kosong

Marshel Widianto Maju di Pilkada Tangsel agar Petahana Tak Lawan Kotak Kosong

Regional
Mengintip Tugas Pantarlih, Deni Grogi Lakukan Coklit Bupati Semarang Ngesti Nugraha

Mengintip Tugas Pantarlih, Deni Grogi Lakukan Coklit Bupati Semarang Ngesti Nugraha

Regional
Petugas Pantarlih di Banten Bisa Data via 'Video Call' jika Pemilih Sibuk

Petugas Pantarlih di Banten Bisa Data via "Video Call" jika Pemilih Sibuk

Regional
Panggung Teater sebagai Jalan Hidup

Panggung Teater sebagai Jalan Hidup

Regional
Di Hari Anti Narkotika Internasional, Pj Gubri Terima Penghargaan P4GN dari BNN RI

Di Hari Anti Narkotika Internasional, Pj Gubri Terima Penghargaan P4GN dari BNN RI

Regional
Menilik Kampung Mangoet, Sentra Pengasapan Ikan Terbesar di Kota Semarang

Menilik Kampung Mangoet, Sentra Pengasapan Ikan Terbesar di Kota Semarang

Regional
7 Jemaah Haji Asal Kebumen Meninggal di Mekkah, Kemenag Pastikan Pengurusan Asuransi

7 Jemaah Haji Asal Kebumen Meninggal di Mekkah, Kemenag Pastikan Pengurusan Asuransi

Regional
Mudahkan Akses Warga ke Puskesmas dan RS, Bupati HST Serahkan 3 Unit Ambulans Desa

Mudahkan Akses Warga ke Puskesmas dan RS, Bupati HST Serahkan 3 Unit Ambulans Desa

Regional
Polisi Sebut Remaja Penganiaya Ibu Kandung Alami Depresi

Polisi Sebut Remaja Penganiaya Ibu Kandung Alami Depresi

Regional
Jadi Kuli Bangunan di Blora, Pria Asal Kediri Ditemukan Tewas Tertimpa Tiang Pancang

Jadi Kuli Bangunan di Blora, Pria Asal Kediri Ditemukan Tewas Tertimpa Tiang Pancang

Regional
Orangtua yang Buang Bayi Perempuan di Depan Kapel Ende Ditangkap

Orangtua yang Buang Bayi Perempuan di Depan Kapel Ende Ditangkap

Regional
Program Pengentasan Stunting Pemkot Semarang Dapat Penghargaan dari PBB

Program Pengentasan Stunting Pemkot Semarang Dapat Penghargaan dari PBB

Regional
Alasan Pj Gubernur Nana Sebut Pilkada Serentak 2024 Lebih Rawan Dibanding Pilpres

Alasan Pj Gubernur Nana Sebut Pilkada Serentak 2024 Lebih Rawan Dibanding Pilpres

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com