Menurut Maswar, kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan agar kuota BBM non-ubsidi Sumbar betul-betul dikonsumsi oleh masyarakat Sumbar, bukan malah dikonsumsi oleh pihak lain, karena alasan perbedaan harga.
Kemudian itu juga didasari oleh hasil kesepakatan seluruh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) se-Sumatera.
Selain itu, Maswar menegaskan, usulan tentang kenaikan ini telah sesuai dengan amanat Undang-Undang No.1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dimana pada pasal 26 ayat (1) disebutkan Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen.
Saat ini, Pemprov. Sumbar masih memakai UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tarif PBBKB sebesar 7,5 persen.
Dikatakan Maswar, tarif tersebut berada di bawah tarif PBBKB yang diberlakukan di Provinsi Riau yaitu sebesar 10 persen.
Dengan kondisi itu, terjadi selisih harga antara Sumbar dengan Riau. Akibatnya, kuota BBM non-subsidi Sumbar, terutama pada daerah perbatasan sebagian dikonsumsi oleh kendaraan dari luar Sumbar.
Agar tidak terjadi kesenjangan harga tersebut, akhirnya Bapenda se-Sumatera menyepakati, harga minyak non subsidi satu harga, yakni dengan sama-sama menaikan tarif pajaknya menjadi 10 persen.
“Jika kita samakan menjadi 10 persen, harga BBM non subsidi di Sumatera menjadi sama. Tidak ada lagi kesenjangan ketersediaan dan konsumsinya menjadi tepat sasaran,” ujar Maswar Dedi.
Menurut Maswar, langkah itu juga tidak akan mengganggu perekonomian masyarakat kecil dan usaha mikro kecil menengah (UMKM).