“Karena kita enggak bisa merawatnya sehingga terlantar sampai berkarat-karat kemudian sampai lobang gitu. Atau malah jatuh di loak secara diam-diam,” kata Indra kepada BBC Indonesia.
Berdasarkan observasinya, di Indonesia masih ada banyak lokomotif-lokomotif bersejarah lainnya yang tersebar di berbagai provinsi. Namun, kondisi mereka sebagian besar sudah rapuh dan tidak terawat dengan baik.
“Ada yang diterlantarkan, ada yang enggak jelas nasibnya. Padahal itu bersejarah, sehingga enggak tahu, ini kan mereka berproses sekitar sekian tahun baru disetujui sekarang,” jelasnya.
Baca juga: Alun-alun Selatan Yogyakarta: Sejarah, Fungsi, dan Tradisi Masangin
Menurut dia, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk merevitalisasi kereta-kereta tua itu. Namun, hingga sekarang belum ada upaya serius untuk melestarikannya.
“Kalau kita mau menghimpun pensiunan masinis lokomotif dan ahli-ahli perkeretaapian mereka masih banyak sekarang. Masih banyak yang memahami bagaimana merevitalisasi ulang aset itu banyak masih bisa,” ujarnya.
Indra mengatakan bahwa Kereta Uap Nomor 9 dan Kereta Uap Nomor 124 berasal dari produsen yang sama, yakni Du Croo & Brauns.
“Sepertinya dari spesfikasi yang saya baca, itu berasal dari pabrikan yang sama dan memiliki kekhasan yang sama jadi mungkin mereka memiliki ahli yang sesuai dengan pabrikannya, dia mencari di Indonesia yang ibaratnya masih utuh dan kondisi lengkap dan kemudian dikonservasi di sana,” jelas Indra.
Du Croo & Brauns merupakan perusahaan yang memproduksi lokomotif dari awal abad ke-20.
Perusahaan tersebut berdiri pada 1906 dengan perusahaan perdagangan Belanda yang didirikan oleh Ir. EA Du Croo.
Pada 1908 kerja sama dengan Ir. PJC Brauns dimulai. Selang dua tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk mendirikan NV Constructiewerkplaatsen v/h Du Croo & Brauns, yang menciptakan peluang untuk menarik modal eksternal.
Baca juga: 7 Museum di Sekitar Danau Toba, Wisata Sejarah di Destinasi Super Prioritas
Kini kebanyakan dari kereta-kereta itu diekspor ke daerah Hindia Belanda pada 1920-an dan bahkan sebelumnya.
“Di awal abad ke-20 itu kan perkeretaapian di sini marak dengan adanya pembukaan daerah-daerah yang dulunya enggak ada kereta api dibangun kereta api untuk angkutan hasil bumi yang menuju pelabuhan,” kata Indra.
Karena dinilai lebih efisien dan biaya murah, pabrik-pabrik gula mulai menggunakan kereta api yang ukuran dan tipenya berbeda dengan kereta api penumpang.
“Beda ukuran, beda besar tapi spesial untuk mengangkut tebu dari kebun menuju pabrik gula. Tebu dari pabrik gula kemudian gulanya diangkut ke stasiun terdekat yang mengantar gula itu ke pelabuhan untuk diekspor,” sebutnya.
Berdasarkan situs resmi Stoomtrein Katwijk Leiden, Kereta Uap Nomor 214 memiliki kekuatan 80hp. Du Croo & Brauns mengirimkannya pada 1928 dengan nomor pabrik 159 ke Pabrik Gula Koenir dari Handels Vereeniging Amsterdam.
Baca juga: Mengenal Mamanda, Teater Tradisional dari Kalimantan Selatan: Sejarah Singkat, Fungsi, dan Cerita
Kemudian, lokomotif itu dikirim ke Pabrik Gula Ngadiredjo Kediri, juga produksi Du Croo & Brauns, Belanda sebelum akhirnya dipindahkan ke Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri, Jawa Timur.
Pada 1885, insinyur Swiss bernama Jules T. Anatole Mallet mematenkan jenis lokomotif ini.
“Kami bermaksud mengembalikan lokomotif ikonik ini ke kondisi operasional,” ungkap pernyataan pada situs itu.
Sementara asal usul Kereta Uap Nomor 9 lebih misterius karena buku ketelnya tidak bisa ditemukan. Namun, Indra mengatakan bahwa sebelum dipindahkan ke Pabrik Gula Sumberhardjo, kereta itu awalnya dibeli oleh Pabrik Gula Klampok, di Banyumas.
“Lokomotif uap ini baru dikirim ke Suikerfabriek Klampok pada 1925 oleh Du Croo & Brauns dengan nomor pabrik 81 . Entah kapan lokomotif itu pindah ke Pabrik Gula Sumberhardjo,” tulis situs itu.
Baca juga: Tradisi Nyadran: Sejarah, Makna, dan Ragam Kegiatan
Ia mengatakan bahwa alasan dilakukannya pengiriman kereta uap itu ke Belanda adalah agar dapat dilakukan restorasi yang lebih intensif. Namun, ia tidak menyebut berapa lama kurun waktu peminjaman itu berlaku.