Salin Artikel

Polemik Pengiriman Lokomotif Pabrik Gula Berumur 100 Tahun ke Belanda untuk Direstorasi

Aris Handoyo, Sekretaris Perusahaan PT Perkebunan Nusantara X, salah satu perusahaan yang menaungi pabrik gula pemilik lokomotif, mengeklaim kedua lokomotif itu hanya berstatus pinjaman sehingga kelak akan dikembalikan dalam kurun waktu tertentu.

“Supaya lokomotif mendapatkan perawatan lebih intensif, serta meningkatkan hubungan baik antara Indonesia–Belanda,“ jelas Aris Handoyo kepada BBC News Indonesia pada Senin (3/4/2023).

Lokomotif pertama adalah Kereta Uap Nomor 214 produksi 1928 yang selama ini beroperasi di PG Pesantren Baru, Kediri, di bawah naungan PT Perkebunan Nusantara X.

Lokomotif kedua adalah Kereta Uap Nomor 9 produksi 1925 milik PG Soemberhardjo, Pemalang, yang berada di bawah PT Perkebunan Nusantara IX.

Kedua lokomotif tersebut akan dikirim ke museum perkeretaapian di Belanda yang bernama Stoomtrein Katwijk Leiden.

Berdasarkan unggahan Facebook museum tersebut, kedua lokomotif itu akan sampai di Belanda pada 29 April mendatang.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid, mengatakan bahwa karena kedua lokomotif tersebut tidak berstatus cagar budaya, benda tersebut dapat dipindahtangankan atas keputusan perusahaan pemilik pabrik gula yang terkait.

“Benda yang belum/tidak ditetapkan sebagai cagar budaya bisa saja dipindahtangankan. Saya tidak tahu dasar pertimbangan PTPN untuk mengirimnya ke Belanda,“ katanya.

Namun, pihaknya juga menyayangkan peminjaman dan perawatan kedua lokomotif tersebut karena di Indonesia ada pula museum kereta api dan cagar budaya yang dapat melestarikan aset sejarah tersebut.

“Ya, tentu ikut menyayangkan karena ada museum kereta api di Ambarawa dan juga BPCB Jawa Timur yang seandainya dimintai bantuan tentu bisa membantu,“ sebut Hilmar.

Sementara, pengamat dan pemerhati perkeretaapian, Tjahjana Indra Kusuma, mengatakan bahwa meskipun ia merasa sedih atas kepergian aset bersejarah itu ke Belanda, ia merasa keputusan itu lebih baik daripada dibiarkan di Indonesia.

“Karena kita enggak bisa merawatnya sehingga terlantar sampai berkarat-karat kemudian sampai lobang gitu. Atau malah jatuh di loak secara diam-diam. Setidaknya saya bisa mengabadikan bahwa lokomotif ini jadi lebih indah dan bermanfaat meskipun di negeri orang,“ ujar Indra.

Ia berharap bahwa kejadian ini bisa menjadi pengingat kepada pemerintah Indonesia untuk semakin menggiatkan pelestarian aset-aset bersejarah yang ada dalam negeri, terutama lokomotif-lokomotif kereta api tua berdiam di pabrik-pabrik gula.

Beberapa di antara mereka menyayangkan kepergian kereta-kereta ini karena seharusnya mereka bisa direstorasi oleh Indonesia, tanpa harus dikirim ke luar.

“Semoga loko-loko yang ada di Pabrik Gula Gempolkrep nggak bernasib sama (maksudnya di restorasi sendiri sehingga enggak sampai jadi aset luar negeri,“ tulis salah satu pengguna di kolom komentar.

Tetapi, ada juga beberapa pengguna yang memandang pengiriman lokomotif ini ke Belanda sebagai hal positif. Sebab, menurut mereka, jika aset-aset itu dibiarkan tinggal di Indonesia mereka tidak akan dirawat.

“ Kalau dibiarkan tergeletak disini akan mangkrak atau hilang dipreteli…Di Holland akan ditempatkan dan dijadikan artefak sejarah…“ tulis pengguna lain.

“Terbengkalai disini,, dirawat disana,, sumber sejarah tak dihiraukan diambil oleh pelaku sejarah sendiri.. Wajar ..“ keluh seorang pengguna.

Indra mengaku perasaannya campur aduk saat mendengar kabar itu. Di satu sisi, ia ingin lokomotif-lokomotif itu mendapatkan perawatan yang semestinya daripada dibiarkan berkarat dan menjadi rapuh.

“Saya pribadi sebagai penggemar lokomotif, itu ada sedihnya. Tapi ada juga senangnya. Sedihnya aset-aset ini yang merawat malah orang lain.

“Karena kita enggak bisa merawatnya sehingga terlantar sampai berkarat-karat kemudian sampai lobang gitu. Atau malah jatuh di loak secara diam-diam,” kata Indra kepada BBC Indonesia.

Berdasarkan observasinya, di Indonesia masih ada banyak lokomotif-lokomotif bersejarah lainnya yang tersebar di berbagai provinsi. Namun, kondisi mereka sebagian besar sudah rapuh dan tidak terawat dengan baik.

“Ada yang diterlantarkan, ada yang enggak jelas nasibnya. Padahal itu bersejarah, sehingga enggak tahu, ini kan mereka berproses sekitar sekian tahun baru disetujui sekarang,” jelasnya.

Menurut dia, Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan untuk merevitalisasi kereta-kereta tua itu. Namun, hingga sekarang belum ada upaya serius untuk melestarikannya.

“Kalau kita mau menghimpun pensiunan masinis lokomotif dan ahli-ahli perkeretaapian mereka masih banyak sekarang. Masih banyak yang memahami bagaimana merevitalisasi ulang aset itu banyak masih bisa,” ujarnya.

“Sepertinya dari spesfikasi yang saya baca, itu berasal dari pabrikan yang sama dan memiliki kekhasan yang sama jadi mungkin mereka memiliki ahli yang sesuai dengan pabrikannya, dia mencari di Indonesia yang ibaratnya masih utuh dan kondisi lengkap dan kemudian dikonservasi di sana,” jelas Indra.

Du Croo & Brauns merupakan perusahaan yang memproduksi lokomotif dari awal abad ke-20.

Perusahaan tersebut berdiri pada 1906 dengan perusahaan perdagangan Belanda yang didirikan oleh Ir. EA Du Croo.

Pada 1908 kerja sama dengan Ir. PJC Brauns dimulai. Selang dua tahun kemudian, keduanya memutuskan untuk mendirikan NV Constructiewerkplaatsen v/h Du Croo & Brauns, yang menciptakan peluang untuk menarik modal eksternal.

Kini kebanyakan dari kereta-kereta itu diekspor ke daerah Hindia Belanda pada 1920-an dan bahkan sebelumnya.

“Di awal abad ke-20 itu kan perkeretaapian di sini marak dengan adanya pembukaan daerah-daerah yang dulunya enggak ada kereta api dibangun kereta api untuk angkutan hasil bumi yang menuju pelabuhan,” kata Indra.

Karena dinilai lebih efisien dan biaya murah, pabrik-pabrik gula mulai menggunakan kereta api yang ukuran dan tipenya berbeda dengan kereta api penumpang.

“Beda ukuran, beda besar tapi spesial untuk mengangkut tebu dari kebun menuju pabrik gula. Tebu dari pabrik gula kemudian gulanya diangkut ke stasiun terdekat yang mengantar gula itu ke pelabuhan untuk diekspor,” sebutnya.

Berdasarkan situs resmi Stoomtrein Katwijk Leiden, Kereta Uap Nomor 214 memiliki kekuatan 80hp. Du Croo & Brauns mengirimkannya pada 1928 dengan nomor pabrik 159 ke Pabrik Gula Koenir dari Handels Vereeniging Amsterdam.

Kemudian, lokomotif itu dikirim ke Pabrik Gula Ngadiredjo Kediri, juga produksi Du Croo & Brauns, Belanda sebelum akhirnya dipindahkan ke Pabrik Gula Pesantren Baru di Kediri, Jawa Timur.

Pada 1885, insinyur Swiss bernama Jules T. Anatole Mallet mematenkan jenis lokomotif ini.

“Kami bermaksud mengembalikan lokomotif ikonik ini ke kondisi operasional,” ungkap pernyataan pada situs itu.

Sementara asal usul Kereta Uap Nomor 9 lebih misterius karena buku ketelnya tidak bisa ditemukan. Namun, Indra mengatakan bahwa sebelum dipindahkan ke Pabrik Gula Sumberhardjo, kereta itu awalnya dibeli oleh Pabrik Gula Klampok, di Banyumas.

“Lokomotif uap ini baru dikirim ke Suikerfabriek Klampok pada 1925 oleh Du Croo & Brauns dengan nomor pabrik 81 . Entah kapan lokomotif itu pindah ke Pabrik Gula Sumberhardjo,” tulis situs itu.

Ia mengatakan bahwa alasan dilakukannya pengiriman kereta uap itu ke Belanda adalah agar dapat dilakukan restorasi yang lebih intensif. Namun, ia tidak menyebut berapa lama kurun waktu peminjaman itu berlaku.

“Untuk mengaktifkan kembali lokomotif tersebut sehingga nilai sejarah lokomotif tetap terjaga. Selain itu, supaya lokomotif mendapatkan perawatan lebih intensif, serta meningkatkan hubungan baik antara Indonesia – Belanda,” kata Aris kepada BBC Indonesia.

Selama ini, ia mengeklaim perusahaan sudah melakukan perawatan rutin terhadap kereta uap itu karena memilik nilai historis yang tinggi.

Di sisi lain, PT Perkebunan Nusantara IX, yang merupakan perusahaan yang menaungi Pabrik Gula Sumberhardjo mengatakan bahwa pengiriman kereta uap ke Belanda hanya bersifat sementara.

“Dikirimkan ke Belanda untuk dilakukan restorasi karena memiliki nilai sejarah dan budaya bagi kedua bangsa,” tulis keterangan resmi yang diterima oleh BBC News Indonesia.

Menurut keterangan tersebut, perjanjian pinjam pakai tersebut dilakukan antara PTPN III (Persero) Holding Perkebunan (yang diberi kuasa oleh PTPN IX) dengan Smalspoorweg Stichting, selaku pemilik Museum Stoomtrein Katwijk Leiden.

Status lokomotif itu pun masih merupakan barang milik eks-Pabrik Gula Sumberharjo dan memiliki masa berlaku pinjam pakai selama jangka waktu lima tahun.

“Upaya perawatan lokomotif yang sudah dilakukan PTPN IX adalah dengan menempatkan lokomotif di garasi khusus lokomotif (remise) dan dilakukan kegiatan pembersihan.

“Kondisi lokomotif uap No. IX saat ini masih dapat dipergunakan namun tetap membutuhkan perbaikan dan penggantian beberapa spare part,” tulis pernyataan tersebut.

Ia mengonfirmasi bahwa kedua kereta uap itu tidak berstatus cagar budaya.

“Benda yang belum/tidak ditetapkan sebagai cagar budaya bisa saja dipindahtangankan. Saya tidak tahu dasar pertimbangan PTPN untuk mengirimnya ke Belanda,” katanya.

Namun, pihaknya juga menyayangkan kepergian kedua lokomotif tersebut karena di Indonesia ada pula museum kereta api dan cagar budaya yang dapat melestarikan aset sejarah tersebut.

“Ya, tentu ikut menyayangkan karena ada museum kereta api di Ambarawa dan juga BPCB Jawa Timur yang seandainya dimintai bantuan tentu bisa membantu,” ujar Hilmar.

Pengamat perkeretaapian Tjahjana Indra Kusuma mengatakan bahwa ini bukan pertama kalinya benda berkaitan dengan sejarah perkeretaapian Indonesia dikirimkan ke luar negeri dan akhirnya menjadi artefak yang dipajang di museum.

Dua museum di antaranya merupakan Frankfurt Feldbahn Museum di Jerman dan Museum Statfold Barn di Inggris.

Bahkan, menurut hasil penelusuran Indra, terdapat sekitar tujuh lokomotif dari eks-pabrik gula Indonesia yang kini menjadi artefak pajangan di museum luar negeri.

Berikut daftar lengkapnya:

Frankfurt Feldbahn Museum, Jerman:

  • Lokomotif dari eks-PG Gending, Probolinggo No. 4, konfigurasi roda penggerak 0-4-4-0T (Mallet), lebar rel 600 mm, produksi Orenstein & Koppel, SN 3002, 1909, direstorasi 1999

Museum Statfold Barn, Tamworth, Inggris:

  • Lokomotif dari eks-PG Sragi, Pekalongan No. 1, roda penggerak : 0-4-2T, lebar rel 600 mm, produksi Krauss, SN 4045, tahun 1899, direstorasi tahun 2008
  • Lokomotif dari PG Sragi, Pekalongan No. 14, roda penggerak 0-6-0T, lebar rel 600 mm, produksi Orenstein & Koppel, SN 10705, 1923
  • Lokomotif dari PG Pakis Baru, Pati No. 1, 0-4-0T, lebar rel 700 mm, produksi Orenstein & Koppel, SN 614, 1900, direstorasi tahun 2006
  • Lokomotif dari eks-PG Pakis Baru, Pati No. 5, 0-4-4-0T (Mallet), lebar rel 700 mm, produksi Orenstein & Koppel, SN 1473, 1905, direstorasi tahun 2007
  • Lokomotif dari eks-PG Jatibarang, Brebes No. 9, 0-4-4-0T (Mallet), lebar rel 600 mm, produksi Arnold Jung Lokomotivfabrik, SN 4878, 1930, direstorasi tahun 2011
  • Lokomotif dari eks-PG Trangkil, Pati No. 4, 0-4-2T, lebar rel 600 mm, produksi Hunslet, SN 3902, 1971.

“Aset-aset itu bisa pindah atau “dipinjam atau dikonservasi“ atau apapun klausulnya. Karena utamanya, di sini diterlantarkan, di sana lebih paham bahwa ini adalah sebuah artefak bersejarah,“ kata Indra.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/05/060700178/polemik-pengiriman-lokomotif-pabrik-gula-berumur-100-tahun-ke-belanda-untuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke