Selain protes harga rendah, warga juga menuding proses pembebasan lahan sangat tertutup. Bahkan, harga satuan per meter serta tanam tumbuh, tidak diumumkan secara terbuka.
Saat penyerahan hasil ganti rugi, warga mengaku dikumpulkan di sebuah ruang terbuka di kantor Kecamatan Sepaku.
Lalu, satu per satu dipanggil masuk ruangan tertutup. Di dalam situ sudah ada petugas (tim pengadaan tanah).
"Baru warga diberi amplop suruh buka lihat hasilnya (terterah nominal uang ganti rugi). Bagi yang setuju tanda tangan, kalau tidak setuju dititip di Pengadilan,” ungkap Ronggo.
Di amplop itu, tidak dirincikan harga satuan lahan per meter dan nilai tanam tumbuh. Hanya, tertera nilai uang secara keseluruhan.
Ronggo menyebut, sebagian warga mengaku menerima saja karena tertekan dengan kata petugas, “jika menolak uang dititipkan di Pengadilan”.
Salah satunya Hamidah. Ia bahkan tak bisa membaca total uang ganti rugi kebunnya.
Tapi memilih setuju agar tak dibawa ke pengadilan.
Sementara, Ronggo mengambil sikap menolak. Setelah mengetahui nominal keseluruhan, ia lalu membagi dengan luas lahannya dan mendapat hasil Rp 180.000 per meter.
“Saya sanggah karena merasa terlalu rendah dan luasan kebun saya juga tidak sesuai, lebih kecil dari hasil ukur tim Satgas. Di situ saya tolak,” tegas Ronggo.
Gayung bersambut. Warga lalu beramai-ramai menolak.
Puncaknya, warga memasang spanduk keluhan soal nilai ganti rugi di beberapa titik sekitar kawasan IKN jelang kedatangan Presiden Jokowi ke IKN, Kamis (23/2/2023).
Namun, dicopot petugas atas instruksi polsek setempat melalui lurah.
Padahal, niat warga ingin memperlihatkan ke Jokowi agar mendengar keluhan warga pemilik lahan di KIPP.
Sejak melakukan protes, Ronggo mengaku sering didatangi petugas dari kecamatan, tim penilai hingga polisi dan TNI ke rumahnya.
“Katanya semua setuju loh, hanya sampean saja. Kalau tidak setuju, nanti ada apa-apa sama sampean, repot,” ucap Ronggo, menirukan.
Sementara rekannya, Teguh Prasetyo juga mengaku pernah dihubungi petugas jam 12 malam ajak ketemu. Tapi, dia tak memenuhi permintaan itu.
Sebelum sampai pada tahap akhir penyerahan hasil seperti yang diutarakan warga masuk dalam ruangan tertutup dan diberi amplop.
Tahapan pembebasan lahan untuk kepentingan umum terbagi dalam empat tahap yakni perencanaan, persiapan, pelaksanaan, serta penyerahan hasil.
Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 19 Tahun 2021 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Hasil penelusuran Kompas.com menemukan pelaksanaan ke empat tahapan tersebut tidak berjalan efektif dan diduga melanggar tahapan.
Misalnya, tidak tersedia lahan pengganti atau relokasi bagi warga terdampak KIPP. Yang tersedia hanya berupa uang.
Padahal, Pasal 76 Permen ATR menyebutkan, bahwa ganti rugi lahan bisa berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Thomy menyebut, petugas kadang mensosialisasikan lahan pengganti atau relokasi warga yang berdampak IKN, tapi tidak ada realisasi.
“Ngomong saja, enggak ada lahan yang disiapkan. Buktinya sampai sekarang enggak ada lahan yang disiapkan buat relokasi warga. Mana lahannya? Enggak ada. Kita tanya mereka kadang jawab enggak nyambung, jadi warga malas nanya,” ungkap Thomy sedikit kesal.
Akibat tak ada pilihan lahan pengganti atau relokasi, Hamidah terpaksa kehilangan kebun meski itu satu-satunya sumber penghasilan keluarga dan juga rumah.
Padahal, jika ada pilihan lain, Hamidah mengaku bakal memilih lahan pengganti atau relokasi ketimbang uang.
"Uang bisa habis. Kalau kebun panen sedikit-sedikit penghasilan ada terus," kata Hamidah.
Tak hanya itu, warga juga mengaku tidak mengakses dokumen studi kelayakan atau Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) saat uji publik.
Padahal, dalam Pasal 3 Permen ATR, DPPT merupakan hasil studi kelayakan yang salah satu itemnya mengkaji dampak sosial ekonomi, budaya dan lingkungan yang timbul serta cara penyelesaiannya.
Dokumen itu disusun melibatkan tim ahli, lalu diverifikasi tim yang dibentuk Gubernur Kaltim.
“Saya ini hampir setiap kali pertemuan selalu hadir. Enggak pernah kami terima atau baca dokumen itu,” kata Thomy.
Padahal, konsultasi publik berlangsung selama 60 hari oleh tim yang dibentuk Gubernur Kaltim bernama Tim Persiapan dengan melibatkan asisten yang membidangi urusan pemerintahan, biro hukum, bupati, dan pejabat pertanahan setempat.
Tapi Ronggo, Thomy, Teguh hingga Edy mengaku tidak lebih dari 5 atau 6 kali dipanggil ke kantor camat.
Undangannya hanya melalui grup whatApps yang beranggotakan warga terdampak KIPP.
Warga mengaku tidak mendapat penjelasan yang detail perihal nasib mereka setelah rumah dan lahannya dibebaskan saat sosialisasi maupun uji publik.
Baca juga: Menhan Prabowo Subianto: Pasti Ada Penambahan Personel dan Alutsista di IKN Nusantara
“Semua penuh dengan ketidakpastiaan. Warga enggak tahu harga, enggak tahu di mana lokasi relokasi, pokoknya simpang siur informasinya,” terang Ronggo.
Edy mengatakan, setiap ada undangan pertemuan di kantor camat, yang terjadi hanya satu arah. Petugas panjang lebar menjelaskan, tapi masyarakat tidak banyak paham termasuk dirinya.
“Biasanya di spanduk itu ada tulisan sosialisasi. Tapi kita enggak tahu, enggak ngerti apa yang disampaikan petugas di depan,” kata Edy.
Proses tranfer informasi yang tidak efektif itu diperparah dengan pematokan lahan warga secara mendadak tanpa diketahui pemilik.
Jika merujuk ke empat tahapan di atas, pematokan harusnya di lakukan saat tahap pelaksanaan apabila semua warga sudah setuju pada tahap perencanaan hingga persiapan.
“Ini masyarakat banyak tidak tahu apa-apa, tiba petugas turun pasang patok batas KIPP. Ada yang di depan rumah warga, samping, belakangan, ya warga kaget,” terang dia.