Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Realitas Tata Kelola Transportasi Laut yang Mengecewakan

Kompas.com - 29/03/2023, 13:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Semetara KM Sirimau rutenya terlalu panjang (Manokwari, Sorong, Ambon, Wanci, Bau-Bau, Maumere, Lewoleba, Kupang, Kalabahi, Saumlaki, Tual, Dobo, Timika, Agats dan Merauke) tentu memakan waktu lama.

Kapal perintis yang notabene bagian dari tol laut menjadi tidak jelas, dikarenakan bila mengisi bahan bakar di Tual antreannya bisa sampai seminggu. Pasalnya, Pertamina lebih mendahulukan kapal-kapal yang menggunakan minyak nonsubsidi ketimbang yang bersubsidi.

Provinsi Maluku Utara juga bernasib sama. Penumpang atau masyarakat dari kabupaten di Pulau Halmahera, Morotai dan gugusan pulau di utara yang akan menyeberang ke Kota Ternate harus melalui pelabuhan Sofifi maupun Sidangoli yang jaraknya jauh dan harus menunggu lama.

Begitu juga dengan transportasi laut dari kepulauan Taliabu, Sula, Obi, Kasiruta, Bacan dan gugusan pulau-pulau lainnya di selatan untuk bepergian ke ke Sofifi, Ternate dan gugusan pulau-pulau di bagian tengah dan utara provinsi itu, juga belum lancar atau tidak memadai.

Problemnya seragam, karena keterbatasan jumlah maupun kelayakan armada kapal pengangkut, juga masih minimnya ketersediaan pelabuhan yang representatif. Menjadi potret buram pembangunan di daerah kepulauan, khususnya di sektor perhubungan laut.

Upaya pemerintah Indonesia dalam memajukan sektor transportasi laut masih terlihat setengah hati. Bahkan jalur kapal Pelni antarprovinsi yang sudah lama beroperasi dan sekalipun telah ada upaya perbaikan, namun semua belum optimal.

Kalau mau jujur, masih lebih progresif tata kelola transportasi laut pada zaman Hindia Belanda. Setidaknya itu bisa dilihat sampai saat ini perhubungan laut Indonesia belum bisa mencapai apa yang telah dilakukan oleh Maskapai Pelayaran Belanda (Koninklijke Paketvaart Maatschappij/KPM).

KPM yang beroperasi di perairan Indonesia mulai dari 1888 sampai 1957, telah memiliki jalur yang luas dan rutin, atau terjadwal dengan baik.

Bahkan menurut sejarawan Perancis, Denys Lombard dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” yang ditulisnya tahun 1990, perusahaan pelayaran ini telah membangun sebuah jaringan hebat, teratur dan tepat waktu.

Kapal-kapalnya tak hanya melayari pelabuhan besar, juga pulau-pulau kecil terpencil.

Generasi hari ini mungkin akan tercengang bila membaca jadwal perjalanan dalam buku panduan pariwisata tahun 1930-an. Ambon, Ternate, Banda, dan hampir semua pulau kecil di di kepulauan Aru dan Tanimbar disinggahi satu-dua minggu sekali.

Semua itu memang diselenggarakan terutama untuk keperluan pemerintah dan perdagangan kolonial Belanda, sehingga terpeliharalah hubungan yang teratur antara pulau-pulau di nusantara dengan Batavia sebagai pusat pemerintahan saat itu.

Namun begitu, Pelni sebagai perusahaan pelayaran Indonesia yang resmi menggantikan KPM sejak tahun 1957 hingga saat ini, sepertinya belum berhasil menyamai kemampuan maskapai pelayaran Belanda tersebut. KPM ternyata masih lebih baik dalam membangun konektivitas antarpulau.

Realitas yang menunjukan bahwa masih ada yang belum beres dalam paradigma serta tata kelola transportasi laut selama dan sejauh ini di sebuah negara archipelago. Menjadi fakta dan contoh nyata ketidakmampuan, bila tidak mau disebut kegagalan negara.

Keadaan yang tentu tak dapat dibiarkan. Harus ditanggapi atau disikapi secara serius, saksama dan segera oleh para pemangku kewajiban.

Bila tidak, praktik ketidakadilan distributif akan terus mewarnai kehidupan negara kesatuan ini, dan pada ujungnya makin memperlebar jurang ketimpangan dan memperdalam kekecewaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com