Salin Artikel

Realitas Tata Kelola Transportasi Laut yang Mengecewakan

Dampaknya, konektivitas antarpulau belum terjalin dengan baik, menjadikan transportasi laut mahal, sulit, dan belum representatif.

Berimplikasi pada tingginya biaya, terbatasnya mobilitas orang dan sulitnya distribusi logistik yang kesemuanya turut bermuara pada keterisolasian, ketertinggalan, dan kemiskinan.

Terbatasnya akses kepada pasar yang lebih luas tentu saja mengebiri kemampuan masyarakat dalam memajukan dan meningkatkan taraf hidupnya.

Situasi ini dapat mudah terlihat dan dirasakan pada sejumlah wilayah, terutama di pulau-pulau terpencil dan terluar.

Interaksi dan perputaran ekonomi antarpulau atau dalam gugusan pulau tak terjadi dengan masif, sekalipun ada dalam satu kawasan yang sama. Menunjukkan bahwa paradigma pembangunan belum melihat laut serta gugusan pulau sebagai kesatuan yang utuh dan perlu disinergikan.

Meski ada kebijakan tol laut oleh pemerintah pusat, tapi realisasinya harus diakui masih jauh dari harapan, belum bisa menjawab persoalan yang ada.

Paradoks rasanya bila dibandingkan dengan agresivitas pemerintah pusat dalam membangun jalur transportasi darat, utamanya di Pulau Jawa dan Sumatera.

Kebijakan negara yang belum proporsional ini, sangat terasa bila kita bepergian ke kawasan atau gugusan pulau-pulau di kepulauan Maluku Raya (Provinsi Maluku dan Maluku Utara).

Sejumlah pulau warganya bahkan harus menunggu lama, berhari-hari bila hendak menyeberang dari satu pulau ke pulau lainnya.

Di Provinsi Maluku, misalnya. Transportasi antarpulau di Buru, Seram, kepulauan Lease dan Banda, juga terutama di kepulauan Kei, Tanimbar, Aru hingga pulau-pulau terselatan yang berbatasan dengan Timor Leste, semua belum saling terkoneksi secara rutin sebagai transportasi orang, maupun untuk jalur perdagangan atau ekonomi.

Seperti yang hari-hari ini sedang dirasakan dan dikeluhkan oleh masyarakat yang akan menempuh jalur transportasi laut dari Ambon - Tual - Dobo. Mereka kecewa, sudah tidak terlayani sejak awal Februari 2023, karena sejumlah kapal tidak beroperasi.

Kapal Motor (KM) Nggapulu dan KM Leuser yang biasanya melayani rute itu sedang dalam perawatan atau docking (naik dock).

Adapun KM Tidar yang sebelumnya diharapkan masyarakat sebagai kapal pengganti, saat ini justru dialihkan untuk melayani jalur Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur, menggantikan KM Bukit Siguntang yang juga sedang naik dock.

Sedangkan Ferry yang biasanya melayani jalur Tual - Dobo juga naik dock, dan hingga kini belum ada pengganti Ferry lain dari ASDP.

Semetara KM Sirimau rutenya terlalu panjang (Manokwari, Sorong, Ambon, Wanci, Bau-Bau, Maumere, Lewoleba, Kupang, Kalabahi, Saumlaki, Tual, Dobo, Timika, Agats dan Merauke) tentu memakan waktu lama.

Kapal perintis yang notabene bagian dari tol laut menjadi tidak jelas, dikarenakan bila mengisi bahan bakar di Tual antreannya bisa sampai seminggu. Pasalnya, Pertamina lebih mendahulukan kapal-kapal yang menggunakan minyak nonsubsidi ketimbang yang bersubsidi.

Provinsi Maluku Utara juga bernasib sama. Penumpang atau masyarakat dari kabupaten di Pulau Halmahera, Morotai dan gugusan pulau di utara yang akan menyeberang ke Kota Ternate harus melalui pelabuhan Sofifi maupun Sidangoli yang jaraknya jauh dan harus menunggu lama.

Begitu juga dengan transportasi laut dari kepulauan Taliabu, Sula, Obi, Kasiruta, Bacan dan gugusan pulau-pulau lainnya di selatan untuk bepergian ke ke Sofifi, Ternate dan gugusan pulau-pulau di bagian tengah dan utara provinsi itu, juga belum lancar atau tidak memadai.

Problemnya seragam, karena keterbatasan jumlah maupun kelayakan armada kapal pengangkut, juga masih minimnya ketersediaan pelabuhan yang representatif. Menjadi potret buram pembangunan di daerah kepulauan, khususnya di sektor perhubungan laut.

Upaya pemerintah Indonesia dalam memajukan sektor transportasi laut masih terlihat setengah hati. Bahkan jalur kapal Pelni antarprovinsi yang sudah lama beroperasi dan sekalipun telah ada upaya perbaikan, namun semua belum optimal.

Kalau mau jujur, masih lebih progresif tata kelola transportasi laut pada zaman Hindia Belanda. Setidaknya itu bisa dilihat sampai saat ini perhubungan laut Indonesia belum bisa mencapai apa yang telah dilakukan oleh Maskapai Pelayaran Belanda (Koninklijke Paketvaart Maatschappij/KPM).

KPM yang beroperasi di perairan Indonesia mulai dari 1888 sampai 1957, telah memiliki jalur yang luas dan rutin, atau terjadwal dengan baik.

Bahkan menurut sejarawan Perancis, Denys Lombard dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” yang ditulisnya tahun 1990, perusahaan pelayaran ini telah membangun sebuah jaringan hebat, teratur dan tepat waktu.

Kapal-kapalnya tak hanya melayari pelabuhan besar, juga pulau-pulau kecil terpencil.

Generasi hari ini mungkin akan tercengang bila membaca jadwal perjalanan dalam buku panduan pariwisata tahun 1930-an. Ambon, Ternate, Banda, dan hampir semua pulau kecil di di kepulauan Aru dan Tanimbar disinggahi satu-dua minggu sekali.

Semua itu memang diselenggarakan terutama untuk keperluan pemerintah dan perdagangan kolonial Belanda, sehingga terpeliharalah hubungan yang teratur antara pulau-pulau di nusantara dengan Batavia sebagai pusat pemerintahan saat itu.

Namun begitu, Pelni sebagai perusahaan pelayaran Indonesia yang resmi menggantikan KPM sejak tahun 1957 hingga saat ini, sepertinya belum berhasil menyamai kemampuan maskapai pelayaran Belanda tersebut. KPM ternyata masih lebih baik dalam membangun konektivitas antarpulau.

Realitas yang menunjukan bahwa masih ada yang belum beres dalam paradigma serta tata kelola transportasi laut selama dan sejauh ini di sebuah negara archipelago. Menjadi fakta dan contoh nyata ketidakmampuan, bila tidak mau disebut kegagalan negara.

Keadaan yang tentu tak dapat dibiarkan. Harus ditanggapi atau disikapi secara serius, saksama dan segera oleh para pemangku kewajiban.

Bila tidak, praktik ketidakadilan distributif akan terus mewarnai kehidupan negara kesatuan ini, dan pada ujungnya makin memperlebar jurang ketimpangan dan memperdalam kekecewaan.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/29/13532991/realitas-tata-kelola-transportasi-laut-yang-mengecewakan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke