"Kalau generasi ini putus dan tidak ditolong ya 10 tahun kemudian akan melahirkan generasi-generasi yang seperti apa? Orang-orang tertolak," ujar Rosa.
Menurut Andrea dari Puskapa UI, regulasi yang ada sebetulnya telah menjamin bahwa para remaja yang hamil ini tetap berhak mendapatkan pendidikan.
Di DKI Jakarta misalnya, Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 menjamin bahwa siswi yang hamil tidak boleh dikeluarkan dari sekolah. Sejumlah daerah yang lain juga memiliki aturan serupa.
Begitu pula di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang membolehkan remaja yang hamil untuk kembali bersekolah di Sekolah Menengah kejuruan (SMK) dengan Sumber Daya Kemanusiaan dan Kesehatan (SDMK) setelah melahirkan, bahkan juga diizinkan untuk membawa anaknya.
Namun menurut Andrea, kenyataannya di lapangan masih menunjukkan bahwa pemenuhan hak pendidikan para remaja yang hamil ini belum benar-benar dipastikan secara menyeluruh.
Apalagi di tengah stigma dan sanksi sosial terhadap remaja yang hamil masih begitu lekat.
Baca juga: Kronologi Pembunuhan Ibu Muda di Cimahi, Diperkosa di Kandang Ayam hingga Dibunuh
"Perlu diurai bagaimana mindset sekolah-sekolah ini. Jangan sampai berpikir 'nanti enggak enak dilihat orang, kalau sekolah ada yang hamil'. Untuk kepentingan siapa sih sekolah itu? Kalau enggak enak tuh enggak enak sama siapa? Itu kan berangkat dari stigma," kata Andrea.
Kalaupun sekolah tidak mengeluarkan siswi yang hamil, stigma semacam itu pula yang membuat mereka enggan kembali ke sekolah.
Ditambah lagi kondisi pasca-melahirkan yang belum tentu ideal bagi mereka untuk bisa melanjutkan pendidikan.
Sebab, banyak pula remaja yang mengalami kasus semacam ini berasal dari keluarga miskin.
Pernikahan dini juga masih sering dipilih sebagai solusi semu yang pada akhirnya membuat anak terjerat dalam lingkaran kemiskinan dan kekerasan.
Baca juga: Pria di Belu NTT Serahkan Pacar ke 3 Temannya untuk Diperkosa
Oleh sebab itu, Andrea menilai penanganan remaja yang mengalami kehamilan tak diinginkan tidak cukup hanya dengan menyarankan anak yang putus sekolah untuk melanjutkan pendidikannya lewat program kejar paket.
"Kalaupun dia boleh kembali ke sekolah setelah melahirkan, siapa yang menjamin bahwa mereka akan kembali? Siapa yang memastikan itu?" kata Andrea.
"Kebutuhan mereka secara menyeluruh juga perlu didengarkan. Mulai dari dukungan pengasuhan anaknya, lalu ruang yang nyaman agar mereka juga mau melanjutkan pendidikannya.
"Mencegah itu kan bukan hanya mencegah anak tidak boleh nikah dan putus sekolah sama sekali, tapi juga menangani anak ini secara menyeluruh."
Baca juga: Mahasiswi di Makassar Ketahuan Selingkuh lalu Dianiaya hingga Diperkosa Pacar Berakhir Damai
Sekolah khusus remaja hamil telah dibuka di Malaka, Malaysia sejak 2010 karena tingginya angka kehamilan remaja dan penelantaran bayi.
Di Texas, Amerika Serikat, sebuah SMA negeri menjadi tempat bagi para remaja yang mengalami kehamilan tidak direncanakan untuk lanjut bersekolah.
SMA itu bahkan menyediakan fasilitas pendukung seperti pusat penitipan anak gratis.
Kenya juga telah memiliki sekolah khusus seperti ini, yang merupakan satu-satunya sekolah khusus remaja hamil di negara itu.
Pemerhati anak sekaligus mantan komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan solusi serupa mungkin saja juga diterapkan di Indonesia.
Baca juga: Anak Keterbelakangan Mental Diperkosa 3 Kakek di Banyuwangi, Korban Hamil 5 Bulan
"Ini kan tergantung cara berpikir pemerintahnya, negara hadir karena negara punya perspektif anak. Dia mengerti bahwa ini kesalahannya bukan pada si anak, tidak bisa ditimpakan pada si anak, negara sadar itu," kata Retno.
Namun beberapa waktu lalu, ketika video dari seorang siswi yang membawa anaknya ke sekolah viral di media sosial, timbul pro dan kontra.
Sebagian mengapresiasi sekolah yang mengutamakan hak pendidikan anak, namun sebagian lainnya menganggap hal itu menormalisasi kehamilan remaja.
Sedangkan menurut Retno, menyediakan sekolah khusus semacam ini bukan berarti menormalisasi kehamilan remaja.
"Ini justru akan menyelamatkan negara, karena anak-anak ini anaknya rentan gizi buruk, miskin, jadi lebih baik memberdayakan mereka. Orang-orang enggak bakal berpikir 'ah gue hamil ah'," tutur dia.
Baca juga: Anak Keterbelakangan Mental Diperkosa 3 Kakek di Banyuwangi, Korban Hamil 5 Bulan
Bagaimanapun, Retno mengatakan kasus kehamilan remaja tidak bisa ditimpakan sebagai kesalahan anak semata, sehingga mereka diberi sanksi dan seolah tidak berhak menata kembali kehidupannya.
Apalagi banyak kasus kehamilan remaja juga dipicu oleh minimnya pendidikan seksual yang diterima anak.
Selama stigma itu masih melekat, Retno mengatakan remaja yang hamil akan menjadi korban dua kali.
"Jadi walaupun dia hamil pada usia remaja, kehamilan tidak diinginkan, apalagi diperkosa, pastinya dia korban. Masa mau kita korbankan lagi?" ujar Retno.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Rini Handayani mengakui bahwa cukup banyak remaja yang hamil dan putus sekolah.
"Kalau yang putus sekolah itu konkretnya kami tidak mendata, tapi yang saya temui anak-anak itu memang tidak tertangani hak pendidikannya, ini yang kami dorong pemerintah daerah karena yang bertanggung jawab penuh dulu adalah pemerintah daerah," kata Rini ketika dihubungi.
Merespons data Badilag dan kasus yang baru-baru ini terjadi, Rini mengatakan akan merespons cepat agar pemenuhan hak pendidikan mereka bisa optimal.
Sejauh ini opsi yang dimiliki oleh pemerintah adalah menyediakan layanan pendidikan jarak jauh atau melalui program kejar paket.
Baca juga: Kronologi Siswi SMP di Jambi Diperkosa dan Dibunuh secara Sadis di Tengah Kebun Kelapa Sawit
Khusus untuk remaja yang hamil akibat kekerasan seksual, Rini mengatakan KPPPA dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi akan merevisi Peraturan Mendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 untuk kembali memperkuat jaminan hak pendidikan mereka dipenuhi.
Pemerintah, kata Rini, juga berjanji akan mencari opsi alternatif lain yang lebih berpihak pada kepentingan remaja yang hamil.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.