Sementara itu, Badan Peradilan Agama (Badilag) mencatat bahwa terdapat 13.000 dispensasi nikah yang diterbitkan sepanjang 2022 dengan alasan anak telah hamil lebih dulu.
Baca juga: Siswi SD di Trenggalek Diperkosa Remaja 19 Tahun, Pelaku Mengaku Pacaran dengan Korban
Peneliti Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia Andrea Anjaringtyas Adhi mengatakan bahwa remaja yang menikah dini kemungkinan besar juga putus sekolah.
Sebaliknya, remaja yang putus sekolah akibat kehamilan yang tidak direncanakan pun rentan menikah dini.
Cindy, bukan nama sebenarnya, masih ingat betul betapa harunya dia ketika akhirnya diwisuda dari sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang, Jawa Tengah.
“Enggak nyangka aku bisa lulus padahal awalnya udah merasa enggak mungkin... Enggak mungkin aku bisa lanjutin kuliah,” kata Cindy, 23 tahun, kepada wartawan Nonie Arnee yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Empat tahun yang lalu, Cindy menyadari bahwa dia hamil dengan pacarnya saat itu.
Beragam jalan keluar sempat terlintas di kepalanya. Mulai dari aborsi, berhenti kuliah, bahkan menikah. Namun orang tua Cindy, meski terpukul, menolak apabila Cindy menikah di usia muda.
Orang tuanya kemudian membawa Cindy ke Griya Welas Asih, sebuah rumah singgah bagi remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Semarang.
Di rumah singgah itu, Cindy menetap sampai melahirkan anaknya. Di sana dia mendapat pendampingan psikologis, kontrol kandungan, serta penguatan rohani.
“Saya banyak disadarkan kalau menikah itu bukan solusi, bukan jalan keluar. Bahkan bisa jadi kalau saya benar-benar nikah saya enggak mungkin bisa jadi seperti sekarang ini, saya bisa melanjutkan kuliah, bisa melanjutkan kerja,” kata Cindy.
Bagi Cindy, proses yang dia lalui untuk bangkit dan menata kembali hidupnya sama sekali tidak mudah.
Dia merasa "mustahil" bisa melanjutkan kuliah, namun juga khawatir dengan masa depannya apabila putus kuliah.
Baca juga: Digerebek Massa Mesum di Toilet Masjid, 2 Pelajar SMP Akan Dinikahkan
“Saya bingung, enggak kepikiran untuk kuliah lagi. Sudah punya anak mosok lanjutin kuliah, masuk semester empat waktu itu,” kenang Cindy.
Butuh waktu berbulan-bulan bagi Cindy untuk akhirnya memutuskan bahwa dia akan merawat anaknya sendiri.
Salah satu hal yang dia khawatirkan pada saat itu adalah sanksi sosial dan stigma yang akan dia dapat dari keluarga besar dan lingkungan sekitarnya.
Itu yang membuat Cindy sempat menitipkan bayinya di Griya Welas Asih selama delapan bulan.
“Keluarga saya bingung karena keluarga besar tidak ada yang tahu. Griya Welas Asih bantu ngasih solusi juga, akhirnya dapat solusi terbaik. Akhirnya anak saya ada di rumah saya,” kata dia.
Baca juga: Siswi yang Kontraksi Saat Jam Pelajaran Lahirkan Bayi dan Dinikahkan
Seperti yang telah dia perkirakan, Cindy mengatakan kepulangannya bersama seorang bayi sempat membuat gempar dan menjadi bahan omongan tetangga.
Tetapi kehadiran anaknya pula yang menguatkannya untuk kembali melanjutkan kuliah.
“Aku harus berusaha, nanti anak itu mau seperti apa ke depannya, buat masa depannya juga,” kata dia.
Perlahan Cindy menata kembali hidupnya. Dia berhasil wisuda dan kini bekerja sebagai analis di bidang kesehatan.
Kedua orang tuanya sangat menyayangi cucu mereka. Gunjingan dari para tetangga pun perlahan memudar.
Cindy mengaku bersyukur bahwa dia tidak memilih menikah muda dan memprioritaskan pendidikannya.
“Teman saya banyak yang mengambil jalan menikah, sekarang hidupnya ngeri, enggak lanjut sekolah karena dia harus memikirkan keluarga. Suaminya enggak kerja, jadi yang banting tulang ya teman saya. Enggak kebayang kalau dulu saya jadi menikah akan seperti apa,” kata Cindy.
Baca juga: Tangis Bahagia Alfin dan Oneng Saat Dinikahkan di Lapas Semarang
“Awalnya memang sedih karena dilihat orang-orang, tetangga mikir seperti apa, tapi lama-lama ya sudah. Tetap semangat saja, yang penting kita sebagai perempuan yang sudah pernah gagal bisa menunjukkan ke orang lain kalau ternyata kita bisa,” ujarnya.
Rumah singgah ini dia dirikan bersama rekannya, Ruth, pada 2018.
Inisiatif itu datang setelah mereka melihat banyak kasus kehamilan remaja yang berujung pada pernikahan dini, aborsi, dan penelantaran anak.
Sudah ada 48 perempuan berusia 14-25 tahun yang pernah singgah di Griya Welas Asih selama hampir lima tahun.
Lebih dari 100 remaja perempuan yang membutuhkan pertolongan terpaksa mereka tolak karena terbatasnya tempat dan fasilitas.
Baca juga: Kisah Pilu Siswi SMP di Bone, Diperkosa hingga Meninggal dan Pelaku Dibebaskan
Mereka yang datang dan meminta pertolongan biasanya berada dalam posisi rentan, seperti berasal dari keluarga miskin, korban kekerasan seksual, terancam dinikahkan, atau menghadapi sanksi sosial yang buruk.
"Anak-anak ini kalau dikawinkan juga belum cocok, bagaimana caranya, mereka harus diberi jalan keluar," kata Rosa.
Selama di panti, mereka diberi makanan dengan gizi yang cukup, pendampingan psikologis, dan kontrol rutin dengan dokter spesialis kandungan.
Menurut Rosa, para remaja ini juga dibantu untuk tetap melanjutkan pendidikan mereka melalui program kejar paket.
Biayanya ditanggung oleh Griya Welas Asih melalui bantuan para donatur.
"Hampir semua anak-anak yang masuk sini sudah kejar paket. Jadi mereka pulang tidak putus sekolah dan tinggal melanjutkan saja. Ini sangat membantu, paling tidak mereka tidak tinggal kelas," tutur Rosa.
Mereka juga dibekali dengan sejumlah keterampilan seperti menyulam, menjahit, hingga membuat kue.
"Tujuannya kalau mereka keluar mereka bisa menjadi single parent, kalaupun mereka pada akhirnya putus sekolah dan ingin merawat anaknya ya mereka bisa mandiri.