La Edi menuturkan, ia mulai bekerja sebagai buruh angkut di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon sejak tahun 1996 saat usianya masih 26 tahun.
Lelaki asal Bau-bau, Sulawesi Tenggara, ini mulai merantau ke Kota Ambon sebelum konflik kemanusiaan berkecamuk pada 1999.
Di Kota Ambon, ia sempat tinggal bersama istri dan empat orang anaknya di kawasan Silale, Kecamatan Nusaniwe, Ambon. Namun kini, istri dan anak-anaknya semuanya telah kembali ke kampung halamannya di Bau-bau.
“Saya kerja di sini sudah sekitar 26 tahun tapi sekarang saya sendiri di sini tinggal di Silale, kalau istri dan anak-anak sudah di Bau-bau semua,” katanya.
La Edi mengaku tetap bersyukur meski hanya menjadi buruh angkut. Dari kerja kerasnya itu, ia bisa menghidupi istri dan keempat orang anaknya.
Saat ini, istri dan anak-anaknya telah pulang ke kampung halamannya di Bau-Bau. Setelah keluarganya memilih pulang ke kampung halaman, La Edi malah tetap memilih bertahan di Kota Ambon sebagai buruh angkut di Pelabuhan Yos Sudarso.
Baca juga: Bentrok 2 Kelompok Pemuda di Ambon, Satu Korban Terluka, Motor dan Warung Dibakar
Ia memilih tetap bertahan di Ambon meski harus terpisah dengan keluarganya karena dari hasil jerih payahnya sebagai buruh angkut ia bisa menghidupi keluarganya.
“Saya bersykur karena dengan pekerjaan ini saya bisa menghidupi keluarga saya meski kurang-kurang,” katanya.
Menurut La Edi, selama tinggal terpisah dengan keluarganya, ia harus bekerja lebih giat lagi. Sebab ia harus mengirim uang untuk kebutuhan hidup istri dan anaknya yang belum berkeluarga di kampung halaman.
Selain itu, ia juga harus menyimpan uang untuk membayar biaya tagihan kontrakan di Ambon dan juga biaya makan setiap hari. Padahal, setiap kapal masuk di Pelabuhan, ia hanya bisa dua kali mengangkut barang milik penumpang yang turun maupun naik ke kapal.
“Biasa dua kali saja ya dapat Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Tapi itu saya tabung lagi karena saya harus kirim ke istri dan anak di kampung Rp 500.000 setiap bulan, belum lagi harus bayar kos dan makan setiap hari di sini,” ujarnya.
La Edi sendiri belum bisa memastikan sampai kapan ia akan tetap bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan. Namun, yang pasti saat waktunya tiba, ia akan kembali mengikuti keluarganya di kampung halaman untuk menghabiskan masa tuanya bersama mereka.
“Saat ini masih kuat tapi saya tidak tahu sampai kapan saya bisa bertahan sebagai buruh di pelabuhan, mungkin saat saya sudah tidak kuat lagi saya akan berhenti dan akan kembali ke keluarga saya di Bau-bau,” katanya.
Ia sendiri tak pernah bermimpi untuk menjadi buru angkut. Apalah daya, kerasnya kehidupan dan sulitnya mendapat pekerjaan yang layak membuatnya harus rela bekerja mengandalkan tenaga yang dimiliknya demi bisa bertahan hidup.
Selama puluhan tahun bekerja sebagai buruh angkut di Kota Ambon, ia juga belum mampu membangun rumah untuk keluarganya sehingga ia dan keluarga harus tinggal di kos-kosan.
“Tapi saya tetap bersyukur Tuhan masih kasih kesehatan kepada saya dan sampai saat ini saya masih sehat, masih terus bekerja,” katanya.