BAGAIMANA ceritanya? Spontan seorang teman berkomentar keras setelah membaca kepala berita tentang kejahatan seksual yang dilakukan seorang putra pimpinan pondok pesantren (ponpes).
Apakah si pelaku mengidap kelainan seksual—hypersex, sehingga seolah mendapat hak privilege dan dilakukan pembiaran?
Ataukah si pelaku memanfaatkan kuasanya secara sembunyi, sehingga pimpinan pesantren yang notabene orangtuanya sendiri dan para pengurus lainnya sampai tidak tahu menahu tindak kejahatannya?
Dan mengapa para korban seolah tutup mulut, sampai kemudian kasus ini akhirnya terbongkar?
Baca juga: Subchi, Putra Kiai di Jombang, Divonis 7 Tahun Penjara dalam Kasus Pencabulan Santri
Persis seperti kejadian kejahatan yang sudah-sudah terjadi, ketika terbongkar, barulah muncul gugatan dari sana-sini yang mengabarkan bahwa ada puluhan korban lainnya. Kejahatan itu sudah berlangsung secara sistemik!
Rasanya kita harus mengurut dada, mendengarnya. Kejahatan sistemik di lembaga pendidikan agama. Tentu saja persoalannya bukan kesalahan pada institusinya belaka, karena pelaku kejahatan menggunakan institusi sebagai ruang kejahatannya.
Sehingga pelaku kejahatan langsung divonis dengan dua kesalahan. Pertama, melakukan tindak kekerasan seksual, dan kedua kejahatan itu dilakukan di lembaga pendidikan agama yang menjadi daerah kekuasaannya.
Seperti kita pahami, selain rumah tinggal, sekolah adalah “rumah kedua” bagi anak-anak. Karena harapan institusi itu menjadi ruang belajar, anak lebih mengenal dunia di luar kehidupannya di rumah, agar ia bersosialiasi memahami hidup lebih luas tantangannya.
Ternyata justru di sanalah kejahatan itu bermula dan menimpa anak-anak kita. Apa kata dunia?
Pernyataan paling menarik dari salah satu korban kekerasan seksual oleh Moch Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi, putra pimpinan Ponpes Majma’al Bahrain Siddiqqiyah adalah permintaan evaluasi serta pengawasan ketat dari pemerintah terhadap Ponpes Siddiqiyyah.
Menurut korban kejahatan seksual tersebut, di lembaga pendidikan agama tersebut sudah bermasalah secara sistemik.
Dan seperti kekhawatiran para korbannya, jika nantinya selesai masa hukuman 7 tahun dijalani dan pelaku kembali ke lembaga pendidikannya, apakah ia akan melakukannya kembali—menjadi residivis?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.