Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Bagaimana Akhir Kejahatan Sistemik Mas Bechi?

Kompas.com - 06/12/2022, 10:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGAIMANA ceritanya? Spontan seorang teman berkomentar keras setelah membaca kepala berita tentang kejahatan seksual yang dilakukan seorang putra pimpinan pondok pesantren (ponpes).

Apakah si pelaku mengidap kelainan seksual—hypersex, sehingga seolah mendapat hak privilege dan dilakukan pembiaran?

Ataukah si pelaku memanfaatkan kuasanya secara sembunyi, sehingga pimpinan pesantren yang notabene orangtuanya sendiri dan para pengurus lainnya sampai tidak tahu menahu tindak kejahatannya?

Dan mengapa para korban seolah tutup mulut, sampai kemudian kasus ini akhirnya terbongkar?

Baca juga: Subchi, Putra Kiai di Jombang, Divonis 7 Tahun Penjara dalam Kasus Pencabulan Santri

Persis seperti kejadian kejahatan yang sudah-sudah terjadi, ketika terbongkar, barulah muncul gugatan dari sana-sini yang mengabarkan bahwa ada puluhan korban lainnya. Kejahatan itu sudah berlangsung secara sistemik!

Rasanya kita harus mengurut dada, mendengarnya. Kejahatan sistemik di lembaga pendidikan agama. Tentu saja persoalannya bukan kesalahan pada institusinya belaka, karena pelaku kejahatan menggunakan institusi sebagai ruang kejahatannya.

Sehingga pelaku kejahatan langsung divonis dengan dua kesalahan. Pertama, melakukan tindak kekerasan seksual, dan kedua kejahatan itu dilakukan di lembaga pendidikan agama yang menjadi daerah kekuasaannya.

Seperti kita pahami, selain rumah tinggal, sekolah adalah “rumah kedua” bagi anak-anak. Karena harapan institusi itu menjadi ruang belajar, anak lebih mengenal dunia di luar kehidupannya di rumah, agar ia bersosialiasi memahami hidup lebih luas tantangannya.

Ternyata justru di sanalah kejahatan itu bermula dan menimpa anak-anak kita. Apa kata dunia?

Kejahatan sistemik

Pernyataan paling menarik dari salah satu korban kekerasan seksual oleh Moch Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi, putra pimpinan Ponpes Majma’al Bahrain Siddiqqiyah adalah permintaan evaluasi serta pengawasan ketat dari pemerintah terhadap Ponpes Siddiqiyyah.

Menurut korban kejahatan seksual tersebut, di lembaga pendidikan agama tersebut sudah bermasalah secara sistemik.

Dan seperti kekhawatiran para korbannya, jika nantinya selesai masa hukuman 7 tahun dijalani dan pelaku kembali ke lembaga pendidikannya, apakah ia akan melakukannya kembali—menjadi residivis?

Mengapa korban begitu “yakin” bahwa kejahatan ini tak akan bisa diputus lingkaran setannya?

Bagaimana modusnya, bagaimana tindakan para korban untuk lepas dari jerat, mengapa tidak ada perlawanan, dan bagaimana pelaku menutup semua kebocoran informasi kejahatannya adalah hal-hal yang membuat kita begitu penasaran setelah terbongkarnya kasus ini.

Dalam sebuah “esai” depth investigasi berisi banyak testimoni salah satu saksi dalam persidangan, Ia mengungkap banyak fakta bagaimana kejahatan ini dilakukan oleh Bechi, yang disebutnya sebagai predator seksual.

Kita bahkan merasakan seolah-olah tidak sedang berada dalam institusi pendidikan agama, tapi seperti berada di sarang mafia.

Putra kiai ini diduga memanipulasi dan membayar anak di bawah umur untuk menjadi budak seksual. Kasus yang dilaporkan langsung oleh para santrinya itu diduga merupakan kasus sistemik.

Apalagi para korban menyebut, Bechi diduga memiliki tempat “khusus” untuk melakukan kekerasan seksual.

Letaknya jauh dari pemukiman warga dan tak bisa dijangkau sembarang orang, masih satu properti milik Shiddiqiyah, di Desa Puri Semanding, Kecamatan Plandaan, sekitar 5 km dari pusat pondok pesantren tersebut.

Bechi diduga memiliki sejumlah ajudan untuk melancarkan berbagai aksi kekerasan serta membungkam para korban agar diam.

Para ajudannya dibekali air gun, jenis pistol berbahaya, dan drone untuk memantau situasi. Bechi juga dilindungi oleh otoritas dan jemaah pesantren.

Mengapa ia memiliki kuasa yang sangat besar? Karena ia juga memiliki jaringan bisnis yang sangat luas, bahkan mempunyai program kegiatan santunan dan pembangunan rumah layak huni. Serta memiliki afiliasi dukungan secara politik dengan banyak tokoh elite di Indonesia.

Dengan beragam “kekuatan” dan “keistimewaan” yang dimiliki itu, pihak Bechi diduga melakukan berbagai cara untuk menutupi tindakannya. Menggunakan surat intimidasi dan mengancam keselamatan beberapa korban.

Bahkan di dalam persidangan, saksi dan korban juga diintimidasi. Dihadirkannya saksi palsu, hingga yang paling luar biasa adalah bangunan tempat kejadian perkara diduga dirombak bentuknya oleh pihak Bechi untuk mengaburkan kejahatannya.

Artinya bahwa kejahatan sistemik ini bukan cuma sekadar berada di ruang gelap tanpa saksi, namun di dalam ruang sidang sekalipun para korban masih mendapat serangan.

Atas banyak keberhasilan yang membebaskan si pelaku inilah kejahatan itu terus berlangsung dan menggurita dengan banyak korbannya.

Dalam persidangan, beberapa saksi lain menyampaikan bahwa mereka mendengar secara langsung dan merekam obrolan Bechi; bahwa Bechi mengklaim diri punya ilmu ‘Metafakta’, dengan berbagai kelebihan sehingga bisa menikahkan dirinya sendiri; menjadi penghulu sekaligus pengantin dan saksi.

Tak hanya itu, Bechi menganggap santriwati adalah “produk unggul”; berhak menjadikannya sebagai objek seksual.

Bechi berkata dia membutuhkan santriwati untuk menjadi “pendingin” ketika otaknya panas karena—apa yang disebutnya—”banyak berjuang untuk masyarakat”.

Tentu saja informasi ini menjadi absurd karena berisi gabungan antara fiksi dan fakta. Dan kejahatan kekerasan seksual yang sistemik ini benar-benar layaknya sebuah film!

Faktanya para korban mengalami penderitaan luar biasa dan didiagnosis menderita post-traumatic stress disorder (PTSD, gangguan stres pascatrauma) sehingga membutuhkan pendampingan psikologis secara khusus.

Bahkan setelah keputusan sidang yang masih menunggu proses banding, para korban mengalami ketakutan tak berujung.

Semestinya ini menjadi perhatian intens dari semua pihak. Apalagi jika di belakang semua ini, para pihak yang masih memiliki afiliasi dengan Bechi terus melakukan serangan atas tindakan mereka membawa Bechi ke hotel prodeo, selama tujuh tahun kedepan.

Selanjutnya, apa yang akan terjadi. Akankah akan ada drama berulang yang lebih gelap dan kelam? Apakah kasus ini mewakili sebuah puncak gunung es?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com