Cindrawaty yang awalnya ragu-ragu menaiki sepeda air karena baru pertama kalinya, akhirnya ia terlena mengayuh sampai di tengah danau sampai gerimis tipis menyadarkan untuk segera menepi.
Makanan ringan yang disediakan warga sekitar segera menyambutnya, sanggala panas dan dabu-dabu siap dipesan tanpa menunggu lama.
Sanggala adalah pisang goreng khas Gorontalo yang dimakan dengan sambal atau dabu-dabu rica (cabai) bawang yang sedap, apalagi dalam kondisi cuaca mendung.
Kunu Kasu (44), lelaki warga Desa Boludawa Kecamatan Suwawa yang memiliki booth kontainer bersama Farida Daud istrinya akan segera menyuguhkan sanggala panas dan dabu-dabu ini. Mereka berdua adalah warga desa yang ramah.
Bagi yang menyukai kopi, juga tersedia kopi kampung Gorontalo yang ternama. Pas sajian dan suasana akhir pekan di danau perintis ini.
“Kami menyewa booth container ini dari badan usaha milik desa, alhamdulillah bisa melayani tamu di sini,” kata Kunu Kasu.
Kunu Kasu dan Farida Daud tidak sendiri, di sisi lain danau ini juga ada Aci Lani dan Mami Sano yang dengan ramah akan melayani mengantar sanggala ke tepi danau.
Suguhan lain yang dapat dinikmati di sini adalah jagung bakar dan rebus. Cara makan jagung di Gorontalo ini pun unik karena harus dicampur dengan urapan sayur putungo, sayuran ini berbahan jantung pisang yang dalam Bahasa Gorontalo dinamakan putungo.
Parutan kelapa mengkal dan rempah-rempah dicampur menjadi suguhan pendamping makan jagung bakar atau rebus.
Paduan citarasa ini sangat pas untuk dinikmati. Mungkin akan terasa aneh bagi orang dari luar daerah, namun inilah kekayaan kuliner masyarakat Gorontalo yang unik dan patut dinikmati.
“Jagung banyak di sini, di ladang-ladang masyarakat ditanami jagung semua. Kelapa juga banyak, tinggal mengolah dengan rempah saja dan segera menjadi sayur putungo yang disajikan dengan jagung panas-panas,” ucap Achril Babyonggo, mantan Camat Suwawa.
Selain kulinernya yang akan menambat lidah pengunjung, suasana pedesaan juga membuat berlama-lama menikmati kesejukannya. Tidak ada kebisingan di lokasi ini, suasana sangat tenang dan nyaman.
Udara bersih mengalir dari tanaman liar yang tumbuh di ladang warga, juga dari Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang tidak jauh dari dari danau ini.
“Dulunya danau ini juga memiliki masalah dengan tanaman air yang tumbuh liar tak terkendali seperti eceng gondok,” kata Achril Babyonggo yang pernah turun langsung mengangkat eceng gondok dari badan danau.
Menurut Achril Babyonggo, danau perintis ini adalah potensi alam yang harus dikelola dengan baik, sehingga bisa dinikmati wisatawan dan memberi penghidupan kepada warga sekitar. Kuncinya adalah menjaga kelestariannya agar tetap alami dan asri.
Baca juga: Dulopo, Cara Unik Menangkap Ikan Danau Limboto dengan Tangan